Langit sore tampak mendung saat Raka melangkah menuju taman belakang sekolah. Jam di tangannya menunjukkan pukul 16.55. Ia menunggu dengan jantung berdebar. Di bawah pohon besar yang biasa menjadi tempat Nayla duduk membaca, ia berdiri dalam diam. Lima menit terasa seperti seabad.
Dan akhirnya, Nayla datang.
Dengan rambut dikuncir dan mengenakan hoodie abu-abu yang kebesaran, ia berjalan pelan, membawa satu buku di tangannya. Tatapannya kosong, tapi dalam.
"Terima kasih sudah datang," katanya lirih.
"Aku... selalu ingin ketemu kamu, Nay."
Mereka duduk. Diam. Angin sore menyibakkan dedaunan kering di bawah kaki mereka. Suasana canggung. Lalu Nayla membuka suara.
"Aku suka kamu, Raka. Bahkan saat aku tahu kamu mungkin suka orang lain."
Raka menunduk. "Aku juga... nggak bisa bohong. Perasaanku ke kamu nyata, Nay. Tapi semuanya jadi rumit."
Nayla menghela napas, matanya mulai berkaca.
"Aku tahu Tania jauh lebih sempurna. Dia cantik, supel, semua orang suka dia. Dan aku? Aku cuma Nayla yang aneh, pendiam, nggak pandai mengekspresikan perasaan."