Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang suka menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sirine dan Rotator, Sedang darurat atau Pamer Kuasa?

21 September 2025   14:52 Diperbarui: 21 September 2025   14:52 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Indonesia, sirine dan Rotator itu ibarat jimat. Sekali bunyi "weee-woo... weee-woo", orang-orang langsung menyingkir, lebih patuh daripada kalau denger khutbah Jumat. Bedanya, kalau khutbah kita masih bisa nyimak atau tidur, kalau sirine? Nggak ada opsi, harus minggir. Dan ajaibnya, begitu lampu kelap-kelip itu nyala, jalanan padat mendadak kayak laut Merah dipecah tongkat Nabi Musa.

Padahal, menurut kitab undang-undang lalu lintas, sirine atau pun rotator cuma boleh dipakai ambulans, pemadam kebakaran, polisi, atau pejabat negara yang memang lagi ada tugas darurat. Tapi di jalan raya kita, yang bunyi sirine dan pakai rotator bukan cuma penyelamat nyawa, tapi juga penyelamat jadwal rapat, penyelamat agenda kondangan, bahkan penyelamat gengsi.

Bayangkan adegan ini: seorang ibu panik bawa anaknya yang kejang-kejang ke rumah sakit. Mobilnya tersendat di tengah macet. Klakson ditekan, tidak ada yang peduli. Lalu dari belakang, meluncur rombongan Alphard, dengan lampu strobo berkelip, sirine meraung. Semua mobil minggir serentak. Si ibu cuma bisa bengong, "Lho, kok yang penting cuma mereka? Anak saya apa nggak penting?"

Kalau hati manusia bisa ditimbang, mungkin lebih berat daripada timbangan di pos polisi. Tapi di jalan raya, yang berat itu justru gengsi. Ambulans sering kalah pamor. Pasien meregang nyawa, sementara pejabat buru-buru takut telat gunting pita.

Jujur saja, sirine di jalan raya kita bukan lagi simbol darurat. Ia sudah berevolusi jadi simbol kasta. Begitu bunyi, artinya: "Hei, rakyat jelata, minggir! Ada yang lebih penting lewat!"

Dan rakyat pun menyingkir, bukan karena kesadaran hukum, tapi karena sudah terlatih untuk takut dan mengalah.Takut ditabrak, takut dilototin, takut dihardik pengawal yang biasanya lebih galak daripada satpam kompleks. Akhirnya jalan raya yang seharusnya ruang publik, jadi panggung feodalisme modern. Bedanya, kalau dulu raja lewat pakai tandu dan gong, sekarang pejabat lewat pakai rotator dan sirine.

Pertanyaan klasiknya: kalau rakyat kecil pasang strobo di motor beat, kira-kira berapa menit sebelum di ajak "ngopi oleh petugas"? Tapi kalau ada pejabat atau keluarganya pasang lampu kelap-kelip di mobil mewah, mereka jadi bijak bestari: "Ya, maklum, urusan penting..."

Aturaan kita ini kadang kayak sandal jepit: gampang putus kalau diinjak rakyat kecil, tapi tahan lama kalau dipakai orang besar. Padahal undang-undang nggak pernah bilang, "Sirine hanya untuk orang kaya." Undang-undang jelas, tapi implementasi sering kabur---seperti wiper mobil tua kena hujan deras.

Dengar sirine palsu itu bikin frustrasi. Bayangkan kita lagi macet, stres, AC mobil mati, anak nangis di belakang, tiba-tiba ada suara "weee-woo" nyaring. Refleks, kita minggir. Ternyata cuma mobil mewah isinya orang-orang ketawa, selfie, sambil live TikTok.

Frustrasi berubah jadi sinisme. Lama-lama rakyat berpikir: buat apa taat aturan, kalau aturan cuma berlaku untuk sebagian orang? Inilah yang bahaya: sirine bukan hanya merusak telinga, tapi juga merusak kepercayaan publik pada hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun