Mohon tunggu...
R Hady Syahputra Tambunan
R Hady Syahputra Tambunan Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

Pemerhati Politik Sosial Budaya. Pendidikan Bidang Hukum. Pengikut Gerakan Akal Sehat. Ex Relawan BaraJP / KAWAL PEMILU Pembelajar Tanpa Henti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Donor Darah, Sedekah Jariyah Sekaligus Menyehatkan

12 Juni 2019   22:49 Diperbarui: 22 Juli 2025   18:52 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahukah kita, ada tiga perkara yang tidak akan putus pahalanya walaupun seseorang telah wafat? Rasulullah SAW bersabda: "Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang selalu mendoakan orang tuanya." (HR. Muslim)

Ilmu yang bermanfaat akan terus mengalir pahalanya selama ilmu tersebut diamalkan penerima, bahkan berlipat ganda jika diajarkan kembali kepada orang lain, terus-menerus. Demikian juga doa anak shalih, asalkan orang tua mendidiknya dengan kebajikan sejak kecil.

Mari kita fokus pada poin pertama: shadaqah jariyah. Menurut Imam Nawawi dalam Syarah HR Muslim, shadaqah jariyah adalah wakaf. Syaikh Shalih Al-Munajjid menambahkan, shadaqah jariyah adalah sedekah yang pahalanya terus mengalir setelah pemberinya wafat karena manfaatnya berkelanjutan.

Sebaliknya, sedekah yang pahalanya hanya sesaat—seperti memberi makan fakir miskin, membantu orang yang berpuasa, atau menjamin kebutuhan anak yatim—bukanlah shadaqah jariyah. Ia baru menjadi shadaqah jariyah jika seseorang ikut membangun asrama anak yatim, masjid, menggali sumur, menanam pohon, mencetak mushaf, atau menyebarkan ilmu yang bermanfaat.

Namun, saya memiliki pandangan sedikit berbeda. Syaikh Shalih menyebut memberi makan anak yatim bukan shadaqah jariyah. Jika mengacu pada logika itu, mendonorkan darah untuk mereka yang membutuhkan juga termasuk sedekah biasa.

Tapi, izinkan saya menjelaskan sudut pandang saya.Berukut kisah lengkapnya: Suatu kali saya mendengar kisah seorang anak berusia 5 tahun yang menderita thalasemia. Hati saya langsung tergerak. Penyakit ini, menurut keterangan sang ayah, tidak ada obatnya. Sang anak hanya bisa bertahan dengan transfusi darah rutin—sebulan sekali, 1–2 kantong.

Menurut Alodokter dan Sociolla Journal, penderita thalasemia selalu membutuhkan transfusi karena kadar hemoglobin mereka mudah turun. Jika tidak segera diantisipasi, tubuh menjadi lemah, sesak napas, bahkan bisa pingsan.

Maka, bukankah mendonorkan darah untuk menyelamatkan nyawa mereka layak dipandang sebagai amal yang berpahala besar? Darah kita membantu mereka bisa kembali beraktivitas, dan dari aktivitas itu mereka berpeluang berbuat kebaikan yang kita turut andil pahalanya.

Saya pribadi baru tiga kali mendonor seumur hidup, belum seberapa dibandingkan para pendonor rutin di lembaga pemerintah dan swasta. Artikel ini tidak untuk riya, tapi mendorong kita semua agar lebih peduli.

Ibadah tidak hanya vertikal (shalat, puasa, haji), tapi juga horizontal (infaq, wakaf, shadaqah, membantu sesama). Seseorang tidak bisa hanya berpegang pada satu sisi saja. Rajin ibadah ritual tapi pelit kepada sesama juga tidak menjamin surga—begitu pula sebaliknya.

Artikel ini terinspirasi dari penderita thalasemia di Provinsi Bengkulu. Banyak dari mereka berjuang mati-matian mencari darah demi bertahan hidup. Kadang, stok darah di PMI RSMY Bengkulu kosong saat sangat dibutuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun