Ada apa dengan perayaan?
Apakah cahaya lilin bisa mengusir gelap,
atau hanya membuat bayang-bayang semakin pekat?
Dan mempertegas kesepian?
Aku tak yakin pada sorak-sorai---
karena di balik itu, aku melihat upayaku gigihku untuk melupakan rindu.
Saat semua bersulang,
mataku tertarik pada pecahan keramik,
menghitung detik demi detik
menuju sepi demi sepi.
Aku pernah mencoba bertahan di tengah pesta,
namun suara musik berubah menjadi gema
setiap nada seperti jeritan,
yang berusaha disamarkan oleh irama.
Dalam kebisingan itu, aku merasa terasing,
seolah semua kegembiraan hanyalah rangkaian topeng,
dan di balik dentuman lagu,
waktu terus melaju tanpa ampun.
Karena bukankah perayaan adalah wajah palsu dari waktu?
Di balik sorak dan kilau lilin, ada suara yang terhenti,
pena yang kehabisan tinta,
ada kesunyian yang menunggu kata.
Namun aku terlampau nyaman menulis dalam gelap.
Hingga Aku tidak pernah tahan melihat lilin menyala;
ia terlalu mirip tubuh yang perlahan habis dimakan rayap
Tiap nyala disambut sorak,
padahal itu adalah api kecil dari kematian,
yang dipuja seperti cahaya.
Mereka bilang:
"Berbahagialah, kau masih di sini."
Namun gema kata-kata Gie mengetuk,
"Benarkah aku beruntung atau sial?"
Yang beruntung adalah yang mati muda,
yang sial adalah yang mesti bertahan,
terjebak dalam perayaan demi perayaan,
menyaksikan wajah-wajah datang dan pergi,
menyimpan semua kehilangan
tanpa pernah diberi waktu untuk berkabung.
Perayaan, bagiku,
bukan tempat pulang.
Ia adalah mimpi buruk
yang dipoles dengan konfeti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI