Biasanya, apa sih, yang dilakukan anak sekolah sebelum berangkat? Mandi, sarapan, masih molor di tempat tidur, nonton TV, atau update status? Ada yang mau nambahin lagi silahkan. Daripada malas-malasan, lebih baik cari kegiatan lain. Bersepeda contohnya. Seperti biasa dari yang sebelumnya, pagi yang dingin ini, aku menunggu mama di atas motor. Dengan seragam SMP-ku yang lama, memakai helm di kepala, dan tas punggung baru. Aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Sambil menunggu mama, aku memperhatikan sekitar dengan saksama. Hampir semua tetanggaku memulai kesibukan di depan rumah. Menyapu halaman, jalan pagi, berangkat ke sawah, bahkan nenek-nenek lagi kayang di tengah jalan juga ada. Wow banget! Penjual sayur-pun langsung dikelilingi para fans yang disebut ibu-ibu.
"Kak! Kakak!" panggil Mama dari dalam rumah. Sebagai anak yang baik, aku langsung menghampirinya tanpa menunggu waktu lama. Tapi sebelum beranjak, tanganku melepaskan helm yang menempel erat di kepala. Di tangan kanannya terdapat selembar uang lima ribu rupiah. "Tolong beliin ganteng di Tukang Sayur depan rumah." pintanya seraya memberikan uang. Hah! Ganteng? Emang ada sayur yang namanya ganteng. Gila ... keren banget namanya. Kalau ada sayur ganteng pada ada sayur  syantik. Kalau memang tidak ada yang namanya sayur syantik, sudah takdinya ganteng menjomblo.
Balik ke topik semula. Dengan wajah bingung dan heran, aku menerima satu lembar uang. langkahku langsung pergi ke tukang sayur tersebut sambil berpikir, "Ganteng-tuh apa? Ganteng-tuh apa?" otakku berpikir keras. Fans Tukang sayur masih memadati gerobaknya. Sebagian fans menunggu uang kembali dari Tukang Sayur langganan, alias idola. Aktingku mencari ganteng dimulai. Tips pertama yang harus saya lakukan adalah, berpura-pura memilih sayur yang tersedia. Yang kedua membolak-balik sayuran memastikan layak untuk dimakan. Dan yang ketiga, "Gantengnya habis ya?" tanyaku ke Tukang Sayur yang menjajakan dagangannya. Itu tips yang paling sempurna jika kalian tidak tahu nama-nama dari suatu daerah. Sebenarnya, aku ingin bertanya langsung kepadanya. Tetapi karena ramai, dan akunya malu, aku mengeluarkan akting jitu agar terlihat seperti bukan orang dari luar daerah. "Neng ngharepmu iku lho. (Di depanmu itu lho)" jawab Tukang Sayur melihat-lihat.
Mataku langsung tertuju pada sayuran yang dia maksud tepat di depanku. Rasa kebingunganku akhirnya terjawab. Aku kaget bukan main, sayur ganteng adalah TOGE! Yang benar saja, sedaritadi aku hanya mencari-cari sayuran yang ternyata mudah ditemukan hanya hitungan detik dengan mata. Kalau ini toge, kenapa mama bilang ganteng. Haduh ... bikin pusing aja. Aku membawa toge yang dinamakan ganteng sambil merendam rasa kesal. "Ini kan toge Mama, kenapa bilangnya ganteng? Aturan Mama bilangnya toge biar Kakak gak bingung." protesku. Mama mulai mengeluarkan isi ceramahnya, "Toge sama ganteng itu beda."
"Tapi kan bentuknya sama." aku memontong isi ceramahnya. "Iya Mama juga tahu. Hanya saja, toge itu berasal dari biji kacang hijau, sedangkan ganteng dari biji kedelai." jelas Mama layaknya seorang guru. Oh ... aku hanya menganguk kepala tanda mengerti. Perlu banyak belajar di daerah baru ini. Salah paham ini masih menyelimutiku entah sampai kapan. Ya ... jangan sampai salah pahamku membawa masalah hingga permusuhan. Pedatang baru kok begitu sih! Setelah membeli sayur yang dipinta mama, aku langsung berangkat sekolah.Â
Mulai aja dari siang ya .... Pelajaran Bahasa Inggris pertama di sekolah ini. Kalau soal ini, biasanya aku jadi tempat 'bule kamus' yang sering ditanya-tanya hampir satu kelas. Sebutan itu berlaku di sekolah lamaku di kota. Tapi kalau di sini, entahlah, mungkin ada yang lebih dariku. Bukannya menjelaskan pelajaran, guruku malah menyuruh kami menulis apa yang dia tulis di papan. Materi pelajarannya cukup gampang bagiku. Orang cuma nulis pronoun. SD kelas satu kan udah diajarin. Masa materi SMP begini sih! Ya sudahlah. Tanpa melihat papan tulis, aku mencatat semua poin materi ini segera. Saat mencatat, tanpa sadar, temanku yang namanya Putri melihatku mencatat tanpa melihat papan tulis. Saat aku sudah selesai mencatat, dan guruku juga, dia menyambar buku tulisku dan memeriksa satu persatu. Sesekali, matanya membaca tulisanku, dan mencocokkannya di papan tulis. "Kok kamu tahu! Padahal kamu gak lihat papan tulis lho!" pujinya mengembalikan buku tulisku. "Iya dong!" aku tersenyum bangga. Dia sedikit kagum dengan pengetahuanku. Tangannya kembali mencatat apa yang dicatat guruku itu.