Mohon tunggu...
sekar A
sekar A Mohon Tunggu... Penulis - pemimpi

Active

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ketika Anak Kota Pindah ke Kampung (Episode 2)

13 Juni 2019   11:54 Diperbarui: 13 Juni 2019   11:57 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bahasa jawa, pelajaran bahasa jawa pertamaku di sekolah ini. Sebelumnya aku tidak pernah mempelajari bahasa daerah sebelumnya. Ya iyalah, di kota mana ada. Untungnya guru tersebut peka kalau aku tidak bisa bahasa jawa. Makasih lho Bu! Terimakasih banyak. Hari itu, pelajaran ini sedang membahas stuktur surat pernikahan. Eh, kok, pernikahan, maksudnya surat pribadi.  Tapi tetap pakai bahasa jawa. Masih yang seperti kuingat, bahasa jawanya surat adalah layang. Dan saat mendengar kata layang, pikiranku langsung membelot ke arah layang-layang. Hmm ... cukup aneh di telingaku. Layang-layang yang artinya surat-surat. Kalau dipikir-pikir, ini mirip pelajaran Bahasa Indonesia. Memang! Bahasanya saja yang beda.

Pagi itu, guruku membuat tebak-tebakan menyusun struktur surat di papan tulis. Sebenarnya materi pelajaran layang sudah dipelajari sebelum liburan akhir tahun. Yah ... yang namanya murid, pasti lupa pelajaran. Biasa ... efek liburan panjang gini nih. Makanya guruku mengingatkan kembali. Jadi, permainannya mirip puzzle. Kita hanya perlu menyusun kalimat agar menjadi struktur surat yang utuh. Satu-persatu guruku memanggil, tidak ada yang bisa menjawab teka-teki puzzle tersebut. Kalau mereka tidak bisa, apalagi aku.

Tapi, untungnya aku tidak dipanggil. Angel, teman pindahanku malah dipanggil. Dia sudah tahu kalau temanku yang dari Grobogan ini bisa bahasa jawa. Dengan perasaan gugup, dia mulai melangkah maju mendekati papan tulis. Bukannya dia sendiri yang menebak, guru Bahasa Jawa tersebut malah memberitahu dia, "Sing keloro iku, dipindah neng ngisor. Sing ketelu, dhekek neng dhuwur. (yang kedua, dipindah ke bawah. Yang ketiga, dipindah ke atas)"

Haduh ... Ibu ini sebenarnya pilih kasih atau main tebak-tebakan. Ok, beruntung banget ya! Angel. Untung dia anak baru, coba kalau murid lama. Setelah pelajaran pasti dia dihajar habis-habisan satu kelas, bahkan mungkin satu kampung. Sebagai bentuk protes mereka, selesai pelajaran mereka berencana membakar ini papan tulis buat masak ayam panggang. Hehehe ... lumayan buat satu kelas. Tapi itu tidak pernah terjadi. 

Gak cuma keberuntungan Angel yang dia dapatkan hari ini. Hari itu juga aku juga mengalami kejadian lucu. Ceritanya, gini nih! Kan siang itu aku diajak Luluk dan Minoel ke mushola buat sholat zhuhur. Pas itu, gurunya lagi gak ada, jadi hanya ngasih tugas saja. Untung dibantuin. Karena tugasnya sudah selesai, kami berempat (+Angel) berangkat rame-rame ke mushola, padahal belum bel. Tapi kata Minoel sih tidak apa-apa kalau keluar. Akhirnya kami berempat jalan di depan koridor kelas delapan. Mulai dari VIII-F sampai VIII-A itu kelas bejejer rapi. Pas banget waktu itu aku memakai seragam batik. Mencolok lagi deh! Di depan mata siswa. Karena belum bel, yang berarti belum ada yang keluar, jadi aku  agak optimis berjalan. Kalau ramai, tahu sendiri kan.

Saat berjalan di depan kelas VIII-F tiba-tiba ada yang manggil, "Mbak, Mbak!"

Kupikir itu suara seseorang sedang memanggil petugas kebersihan. Aku tidak mengacuhkan panggilan misterius tersebut. Langkahku terus mengikuti Luluk dan Minoel menuju mushola. Semakin melangkah menjauh, panggilan itu malah makin terdengar keras. Rasa penasaran mulai berbisik. Kalau rasa coklat ada kok, di toko roti. Tinggal ambil, beli, makan, buang bungkusnya. Simpel kan!

Balik lagi ke topik. Penasaran mulai memerintahku untuk mengetahui suara itu. Langkahku terhenti, lalu kepalaku menengok ke belakang. Rupanya ada seorang laki-laki yang sedari tadi memanggilku. Berperawakan tinggi kurus, dengan kacamata melorot di hidung, memakai kopiah hitam, dan berjenggot putih. Nah loh! Yang manggil tahu-tahu Kepala Sekolah. "Sini Mbak! Sama ajak temen kamu yang  baru itu juga." pintanya.

Tunggu dulu, Bapak memanggil saya dengan sebutan Mbak! Apa Bapak tidak lihat kalau saya adalah anak sekolah! Apa wajah saya yang kebetulan mirip pembantu, gitu?! Seenaknya saja panggil saya dengan sebutan itu. Ok, saya tahu kalau Bapak punya jabatan paling tinggi di sekolah ini. Setidaknya Bapak bisa sopan sedikit kan, ke murid-murid Anda. Dengan perasaan tersinggung, saya memenuhi panggilan tersebut.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengadu ke mama tetang kejadian tadi. Bukannya mendukung perasaanku, mama malah tertawa terbahak-bahak. Katanya, kalau di sini, sebutan 'Mbak' dan 'Mas' adalah kakak. Bisa juga untuk memanggil orang yang lebih tua. Tapi kenapa dia memanggilku  'Mbak'? Padahal umurnya lebih tua daripada aku. Akhirnya mama ceramah lagi deh, sebutan itu juga bisa memanggil orang baru dikenal juga. Mungkin ada yang sedikit bertanya kenapa aku tersinggung. Panggilan 'Mbak' dan 'Mas' menurut orang kota yang aku tempati dulu, artinya PEMBANTU. Jadi, saat aku dipanggil Mbak, otakku berpikir kalau ada pembantu di sekitar situ. Nah, karena aku bukan pembantu, makanya aku tidak peduli panggilan Kepala Sekolah tadi. Oh ... jadi beda daerah, juga beda arti. Sekarang aku yang salah paham.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun