Aku tidak merasa jadi pahlawan. Tidak juga merasa lebih baik dari siapa pun. Tapi ada rasa ringan yang muncul. Bukan euforia, tapi semacam kelegaan bahwa di tengah kota yang sibuk dan kadang sinis ini, kita masih bisa jadi manusia. Tanpa harus viral. Tanpa harus difoto diam-diam lalu dijadikan konten motivasi.
Random act of kindness, katanya. Tapi buatku, itu bukan random. Itu refleks. Refleks manusiawi yang muncul ketika kita berhenti sebentar dan mau melihat sekitar. Ketika kita sadar bahwa kebaikan tidak harus spektakuler. Kadang cukup satu sentuhan di mesin tap, satu senyum kecil, dan satu momen yang membuat hari seseorang jadi sedikit lebih mudah.
Dan sejak saat itu, tiap duduk dekat mesin tap, aku siap jadi tukang tap lagi. Karena ternyata, jadi bagian dari kebaikan kecil itu bukan cuma bikin hati adem, tapi juga bikin kita ingat bahwa kita masih bisa hadir. Tanpa panggung, tanpa seragam, dan tanpa tepuk tangan.Â
Setelah beberapa kali naik JakLingko, aku menyadari satu hal. Rasanya sudah jadi semacam SOP tak tertulis, siapa pun yang duduk paling dekat dengan mesin tap, otomatis menjelma jadi tukang tap dadakan. Tanpa komando, tanpa pelatihan, tapi selalu ada.Â
Di tengah gerah sore dan aroma khas penumpang-campuran parfum semangat kerja, sisa gorengan di plastik, dan jaket yang sudah ikut lembur sejak pagi-ritual tap-tap itu jadi semacam solidaritas kecil. Diam-diam kita saling bantu, walau cuma lewat lengan yang menjulur ke mesin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI