Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, menjabat sebagai presiden keempat Indonesia dari 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001. Sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU), ia dikenal karena pandangan pluralis dan reformisnya. Terpilih melalui pemilihan demokratis pertama pasca-rezim Soeharto, Gus Dur memimpin di tengah tantangan berat seperti: Indonesia masih berjuang pulih dari krisis ekonomi Asia 1997--1998, dengan pengangguran tinggi, inflasi, dan nilai tukar rupiah yang tidak stabil. Ketegangan di Aceh, Maluku, dan wilayah lain memperumit stabilitas nasional. Reformasi Politik: Gus Dur berupaya mengurangi pengaruh militer melalui penghapusan Dwifungsi ABRI, memajukan kebebasan pers, dan membuka dialog dengan kelompok separatis. Tuduhan dalam kasus "Buloggate" (penyalahgunaan dana Bulog melalui Sofyan Taber) dan "Bruneigate" (dugaan penerimaan dana tak transparan dari Sultan Brunei) merusak reputasinya, meskipun bukti hukumnya lemah. Kebijakan kontroversial, seperti usulan hubungan diplomatik dengan Israel dan pencopotan menteri kunci seperti Jusuf Kalla, memicu ketegangan dengan DPR.Â
Pada 23 Juli 2001, MPR menggelar Sidang Istimewa dan memakzulkan Gus Dur dengan suara bulat (591 anggota), menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri. Proses ini menimbulkan kontroversi karena dianggap cacat prosedural dan didorong oleh motif politik.
Analisis Teoretis
1. Teori Elit
Teori elit, menyoroti peran elit politik dalam pemakzulan Gus Dur. Elit politik, termasuk anggota DPR, MPR, dan pimpinan partai seperti Amien Rais (Ketua MPR) dan Akbar Tanjung (Ketua DPR), memainkan peran sentral dalam menggulingkan Gus Dur
Gus Dur dianggap sebagai ancaman karena kebijakan nonkonvensionalnya, seperti penghapusan Dwifungsi ABRI, permintaan maaf kepada korban peristiwa 1965, dan usulan hubungan dengan Israel, mengganggu status quo yang menguntungkan elit politik dan militer era Orde Baru. Buku "Menjerat Gus Dur" karya Virdika Rizky Utama juga mengungkap dokumen "Skenario Semut Merah" yang ditulis Fuad Bawazier untuk Akbar Tanjung, mengindikasikan rencana terkoordinasi untuk melengserkan Gus Dur.
Elit politik juga memanipulasi institusi formal, seperti DPR dan MPR, untuk mencapai tujuan mereka. Proses pemakzulan dianggap cacat karena tidak memenuhi syarat kehadiran seluruh fraksi (PDKS dan PKB absen) dan kurangnya kesempatan bagi Gus Dur untuk membela diri.
Pelanggaran Konstitusi seperti penggunaan Tap MPR No. III/1978, peraturan era Orde Baru, dianggap inkonstitusional oleh pakar seperti Mahfud MD dan Yusril Ihza Mahendra. Amandemen UUD 1945 (Pasal 7A dan 7B) baru dilakukan setelah pemakzulan, menegaskan ketiadaan dasar hukum yang jelas saat itu.
Kelemahan Teori elit ini yang cenderung berfokus pada tindakan elit politik di Jakarta, sehingga kurang mempertimbangkan dukungan masyarakat, seperti basis kuat Gus Dur di kalangan santri NU.
2. Teori Konflik