Mohon tunggu...
Raihan Akbar Khalil
Raihan Akbar Khalil Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kebebasan Bersuara Mengarah Pembungkaman, Masalah untuk Demokrasi Indonesia

11 Juni 2020   10:46 Diperbarui: 11 Juni 2020   10:46 1264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kebebasan bersuara dan menyatakan pendapat merupakan hak setiap warga negara di manapun Ia berada. Sebagai sebuah negara yang memiliki sistem demokrasi, Indonesia mengatur mengenai hak untuk kebebasan berpendapat kepada setiap warganya, baik dari kelas atas, menengah, atau bawah. 

Hak tersebut tertuang di dalam Pasal 28E ayat 3 UUD 1945, menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Kalimat tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia sepenuhnya sangat mendukung warganya untuk menyuarakan aspirasnya kepada siapa saja. Juga, dari sebuah tindakan penyampaian aspirasi dilibatkan sebuah diskusi bersama membahas, mengkritisi, mengomentari suatu akan suatu hal.

Kegiatan ini juga dituangkan dalam Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia", menjadi hal yang penting dalam kehidupan bermasyarakat, terutama di dalam lingkup mahasiswa yang dalam masa ini penting bagi mereka untuk menerima beragam informasi dari berbagai kalangan. 

Namun, yang saat ini terjadi justru membuat mahasiswa berpikir dua kali untuk membuat forum diskusi mengenai beberapa hal yang ingin diutarakan atau membahas soal isu terkini.

Melihat kilas balik beberapa waktu lalu, terdapat penolakan, ancaman serta teror dari berbagai pihak yang ingin menjatuhkan kebebasan berpendapat serta bersuara bagi mahasiswa, bahkan penolakan tersebut didapatkan dari kampus itu tersendiri, yakni Universitas Indonesia yang mengecam kegiatan webinar BEM yang bertajuk "#PapuanLivesMatter, Rasisme Hukum di Papua". 

Melansir dari Vice.com pada artikel berjudul "Rektorat UI Kecam Webinar BEM, Ikuti Tren Kampus Lain Merecoki Diskusi Mahasiswa" tanggal 9 Juni 2020, rektorat Universitas Indonesia menilai bahwa kegiatan webinar yang dilaksanakan oleh BEM Universitas Indonesia dianggap mengundang pembicara yang tidak layak, serta terdapat penyalahan "tata cara aturan".

Hal yang serupa dialami oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, yang mengadakan diskusi oleh kelompok mahasiswa Constitutional Law Society (CLS) berjudul "Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan", yang direncanakan dilaksanakan secara virtual. Tanggapan dari pengadaan acara tersebut menuai berbagai ancaman intimidatif, serta teror dari oknum yang tidak diketahui identitasnya, yang memaksa pihak CLS untuk membatalkan penyelenggaraan acara ini. 

Menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sigit Riyanto menyatakan bahwa "kegiatan ini merupakan salah satu wujud kebebasan akademik dan kebebasan berpendapat yang selayaknya kita dukung bersama," dikutip dari keterangan pers pada artikel Tempo tanggal 30 Mei 2020. Pihak CLS pun sudah menklarifikasi bahwa kegiatan diskusi tersebut membahas bagaimana kajian hukum Pemberhentian Presiden.

Jika melihat dua kasus yang telah dijabarkan sebelumnya, maka sebenarnya fungsi demokrasi di Indonesia mengenai kebebasan berpendapat dan bersuara tidak sepenuhnya didukung oleh lingkungan yang tepat. 

Seringkali terjadi bias dalam memaknai arti demokrasi yang sebenarnya, para petinggi politik dan pejabat pemerintah menyuarakan perihal tentang demokrasi, namun yang terjadi adalah sebaliknya, sekali dikritisi, langsung mengirimkan "orang" untuk mengatasi masalah penyuaraan pendapat, menunjukkan sebuah paradoks dan ironi. Membuat masyarakat menjadi takut untuk menjadi pihak yang berbeda.

Menurut Suharso (2002), setidaknya terdapat hal mengenai paradoks demokrasi yang perlu dikritisi pada kondisi saat ini, salah satunya adalah berkembangnya kekerasan politik , anarki, radikalisme, percekcokan massal yang sering dilanjutkan dengan adu fisik secara kolektif, pemaksaan kehendak, dan berbagai perilaku menyimpang lainnya yang mencerminkan perilaku anti demokrasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun