Mohon tunggu...
Rahma Ahmad
Rahma Ahmad Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Travel Blogger

Lulusan arsitektur yang pernah melenceng jadi jurnalis dan editor di Kompas Gramedia. Pengarang buku 3 Juta Keliling China Utara dan Discovering Uzbekistan. Penata kata di www.jilbabbackpacker.com.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Dari Kampuang Sarugo hingga Desa Arborek, Begini Cerita tentang Anak Muda dan Desa Wisata

12 November 2022   16:44 Diperbarui: 12 November 2022   17:01 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dulu banyak toh yang tolak aturan ini, tapi mereka lihat itu ada penghasilan tambahan dari wisatawan, dari homestay, antar-antar perahu. Mereka jadi sadar dan mau menurut," kenang pria berambut keriting ini.  

Sadar karena Desa Wisata

Salah satu homestay di Arborek. Sumber: stayrajaampat.com
Salah satu homestay di Arborek. Sumber: stayrajaampat.com

Ketika matahari mulai terasa membakar wajah, Pace Nominsen mengajak saya beranjak dari dermaga kayu, berjalan menuju hamparan pasir putih tempat lima anak Arborek bermain-main.  Di sisi lain, di ujung pantai, terlihat pohon bakau yang menggerombol.

Saya memilih duduk di bangku santai yang memang disediakan untuk wisatawan di sana. Terasa tenang dan damai sekali , wajar jika banyak yang ingin menghabiskan waktu di sini. 

Pace Nominsen melanjutkan obrolan kami, "Sama dengan Sasi, dulu masyarakat sini tak mau itu menanam bakau, toh. Tapi sejak jadi desa wisata, mereka sadar pulau dan penghasilan mereka bisa hilang kalau mereka tak tanam itu pohon."

Dua desa wisata tadi menjadi contoh bahwa wisata yang tumbuh dari masyarakat lokal bukan hanya bisa meningkatkan ekonomi, namun bisa membuat masyarakat lebih merasa "memiliki" dan mencintai desanya.

Mengapa Desa Wisata?

Saya baru mengenal konsep desa wisata beberapa tahun belakangan ini, walaupun sebenarnya konsep ini bukan hal baru bagi pariwisata dunia dan Indonesia.  Selain dua desa wisata yang saya ceritakan di atas, ribuan desa wisata tersebar di Indonesia, mulai dari ujung barat ke ujung timur, ujung utara hingga selatan Indonesia. 

Para ahli pariwisata menyebut sistem pengeloaan wisata berbasis desa ini sebagai ommunity-based tourism (CBT) alias pariwisata berbasis komunitas. Yakni pengembangan pariwisata yang berfokus pada aspek sosial, ekologi, dan pariwisata berbasis masyarakat. Desa wisata merupakan daerah pedesaan yang memiliki ciri khas khusus untuk menjadi destinasi wisata dengan keunikan fisik dan kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat sebagai daya tarik.  

Sementara Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2018) mengatakan bahwa Desa wisata adalah desa yang memiliki daya tarik tersendiri –bisa dalam bentuk keunikan fisik dari lingkungan pedesaan, serta kehidupan sosial budayanya–yang dikemas secara alami dan menarik.

Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat pada tahun 2019 jumlah desa/kelurahan di Indonesia sebanyak 83.820 desa. BPS juga mencatat ada sekitar 1.302 desa wisata pada 2014, dan angka tersebut melonjak pada menjadi 1.734 desa berpotensi menjadi desa wisata di sepanjang tahun 2018.Sementara di ADWI (Anugerah Desa Wisata Indonesia), ada 1.838 desa wisata yang tercatat dalam data base mereka hingga tahun 2021.

Pelepasan peserta Jelajah Desa Wisata Ramah Berkendara di Desa Carangsari, Bali (sumber: adira finance)
Pelepasan peserta Jelajah Desa Wisata Ramah Berkendara di Desa Carangsari, Bali (sumber: adira finance)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun