Mohon tunggu...
Rahma Ahmad
Rahma Ahmad Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Travel Blogger

Lulusan arsitektur yang pernah melenceng jadi jurnalis dan editor di Kompas Gramedia. Pengarang buku 3 Juta Keliling China Utara dan Discovering Uzbekistan. Penata kata di www.jilbabbackpacker.com.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Dari Kampuang Sarugo hingga Desa Arborek, Begini Cerita tentang Anak Muda dan Desa Wisata

12 November 2022   16:44 Diperbarui: 12 November 2022   17:01 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengunjungi belasan desa wisata, mulai Kampung Sarugo di barat Indonesia hingga Desa Arborek di timur Indonesia, saya menemukan cerita betapa desa-desa indah ini meningkat ekonominya sejak menjadi desa wisata.   

Semilir angin dari perbukitan yang membawa bau harum rempah khas masakan Minangkabau menyambut kedatangan saya di kampung ini, sebuah kampung yang namanya baru mencuat di kalangan wisatawan Indonesia. 

Mata saya langsung menyapu sekitar. Tepat di depan saya, berbaris rapi tiga puluh rumah gadang, menghampar di tengah persawahan hijau dan perkebunan jeruk. Dindingnya terbuat dari kayu dan anyaman bambu yang disusun bersilangan, atapnya terbuat dari seng berbentuk runcing seperti tanduk kerbau. 

Inilah yang saya cari-cari di Minangkabau. Sebuah desa yang masih memertahankan adatnya, masih memertahankan rumah gadangnya. Inilah Kampuang Sarugo alias Saribu Gonjong, sebuah kampung yang ada di Nagari Kota Tinggi, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat.

Seorang pemuda gagah menyambut saya. Ia mengulurkan tangannya yang terbakar matahari perkebunan sambil berkata ramah, “Salamaik datang ke Kampung Sarugo. Baa kaba?” 

Pemuda bernama richie yang ternyata ketua Pokdarwis Kampung Sarugo kemudian mengajak saya berkeliling kampung. “Karena atap gonjongnya banyak, jadilah dikatakan seribu,” begitu penjelasannya ketika saya bertanya asal usul nama Sarugo.

Adat yang Masih Dipertahankan

Salah satu homestay di Sarugo. (Foto: dok. pribadi)
Salah satu homestay di Sarugo. (Foto: dok. pribadi)

Sambil menanjak di jalan setapak yang masih alami, saya melihat sekeliling sambil mengagumi setiap rumah berbentuk rumah panggung yang masih berdiri dengan kokohnya. Ternyata, rumah gadang ini dibangun sejak 100 tahun lalu, terbukti dengan adanya tulisan tahun "1920" di beberapa kuda-kuda atap rumah. Bahkan menurut Datuk Rajo, sebenarnya kampung ini sudah berdiri jauh sebelum itu, namun sempat habis karena ada bencana kebakaran. 

Di tiap rumah ada setidaknya 5 atap tanduk (gonjong), yang menurut Datuk menandakan rukun haji.  Namun ada pula yang mengatakan jumlah atap ini menandakan kedudukan pemilik rumah dalam struktur adat Minangkabau; makin banyak tanduk, makin tinggi tingkatannya.

Uniknya, rumah ini semuanya menghadap ke arah kiblat. Hal ini didasarkan pada "Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah" falsafah Minangkabau yang memang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka. 

"Falsafahnya, kalau masyarakat ke luar rumah, mereka akan tetap ingat untuk selalu menjalankan kewajiban solat," tukas Richie.

Bahu Membahu Membentuk Desa Wisata

Richie menceritakan bagaimana desa wisata ini terbentuk. Menurutnya, dahulu lokasi ini bisa dibilang kampung terpencil, karena jauh dari pusat kota dan jalan menuju ke sana belum baik. Namanya mulai dikenal luas sejak 2019. Kala itu, sejumlah mahasiswa bersama masyarakat setempat melihat potensi utama kampung ini yang tidak dimiliki kampung lain di Sumatera Barat. 

"Kami lihat kampung kami ini unik, pengunjung bisa merasakan kehidupan adat yang kental jika datang ke sini," pukasnya.  

Bahu membahu, mereka berusaha mengenalkan Kampung Sarugo ke masyarakat, meminta bantuan infrastruktur dari pemerintah untuk perbaikan jalan, mendidik anak-anak muda untuk menjadi guide, serta mengajak para pemilik rumah menyewakan kamarnya untuk homestay.

Bersama ketua adat, mereka membentuk Pokdariwis (Kelompok Sadar Wisata). Kelompok inilah yang kemudian mengkoordinir semua kegiatan wisata di sana, termasuk mengurus permintaan homestay serta membuat dan mengisi sosial media. 

Bersama anak-anak muda ini, Pokdarwis sedang mengembangkan paket wisata untuk lebih menarik minat wisatawan. Selain bisa menginap dan merasakan kehidupan masyarakat Kampuang Sarugo, pengunjung juga bisa memetik jaruk di perkebunan warga dan bermain di aliran sungai yang mengeliling kampung ini. Hal ini ia lakukan karena menurutnya, wisatawan kini sedang menggemari wisata berbasis kehidupan lokal. 

Bertambah Pundi Berkat Desa Wisata

Sumber: katasumbar.com
Sumber: katasumbar.com

Berkat kerja keras ini, perlahan tapi pasti Kampung Sarago mulai didatangi wisatawan. Kehadiran para wisatawan ini membawa angin segar pada kampung yang dikenal sebagai penghasil jeruk ini. Penghasilan penduduk yang tadinya hanya bersumber dari kebun jeruk, kini bertambah dari hasil menjadi guide atau bahkan menyewakan rumahnya untuk menginap.

Seperti yang dirasakan Mak Odang Nursafrida, ibu tua yang dengan ramahnya mempersilakan saya mengintip bagian dalam rumahnya, menikmati Gelamai (dodol khas Minang) dan menyesap secangkir kawa daun, teh dari daun kopi yang hanya ada di Minangkabau. 

Menurut ceritanya, sejak Kampung Sarugo dijadikan desa wisata, ia bisa menyewakan kamar kosong tak terpakai milik anaknya yang kini sudah merantau ke Tanah Jawa. Mak Odang mengakui, saat akhir pekan atau musim liburan, ia bisa mendapatkan pendapatan cukup lumayan dari hasil menyewakan kamarnya itu. Satu kamar ia sewakan seharga 120 ribu rupiah per orang dan biasanya ada 3-5 orang yang menginap di rumahnya. Belum lagi ditambah jika penginapnya meminta dimasakkan makanan khas Minang.

Bukan hanya Mak Odang, ada 7 keluarga lainnya yang mendapat tambahan pundi-pundi dengan menyewakan homestay. Dan ada belasan anak muda, yang tadinya menganggur, kini mulai belajar menjadi guide.

Bergeser ke timur Indonesia, saya pernah mengunjungi Desa Arborek di Raja Ampat. Desa tenang yang kaya dengan pemandangan alam bawah lautnya ini menjadi bukti bahwa program desa wisata bukan hanya bisa meningkatkan ekonomi warga, namun bisa membantu melestarikan ekosistem lautnya.

Desa Arborek, Surga di Barat Papua

Sumber foto: kawulaindonesia.com
Sumber foto: kawulaindonesia.com

Laut yang sebening kaca, ikan-ikan yang bertebaran di bawah dermaga dan di bibir pantai. Itulah yang langsung saya lihat ketika perahu saya mendarat di dermaga kayu Desa Arborek. Tiga anak berambut keriting dengan senyum lebar dan seorang bapak berkaus merah menyambut kami. Dialah Nominsen Mambraku, wakil ketua Desa Arborek.  

Sambil mengajak saya memberi makan ikan dari atas dermaga,  Pace Nom (begitu dia biasa dipanggil) menceritakan kalau sebelum menjadi desa wisata, penghasilan utama penduduk pulau seluas 7.2 hektare ini hanya mengandalkan hasil laut.  Di tahun 2008, karena sadar dengan potensi desa yang indah ini, masyarakat mencoba mengubahnya menjadi desa wisata. Dermaga dibangun agar perahu mudah bersandar. 

Sejak itulah, masyarakat mulai ikut merasakan manfaatnya. Mereka mulai menyewakan rumah untuk para pelancong yang ingin menginap di sana, membuat dan menjual souvenir khas Papua, menyewakan alat snorkeling, hingga menyewakan perahu mereka untuk wisatawan yang ingin menuju Piaynemo dan sekitarnya.

Kini, setelah lebih dari 10 tahun, mereka telah merasakan perbedaannya. Jika dulu mereka hanya menggantungkan hidupnya pada hasil laut, kini hampir 65 persen masyarakat Arborek bisa memiliki pundi-pundi tambahan dari sektor wisata. 

Jaga Ekosistem Sejak Jadi Desa Wisata

Ikan di bawah dermaga Arborek. (Sumber foto: indonesia.travel)
Ikan di bawah dermaga Arborek. (Sumber foto: indonesia.travel)

Sambil berbincang, saya terus mengamati ribuan ikan warna warni di bawah dermaga, di dalam lautan yang jernih bak kaca. Rasanya tak sabar ingin melompat dari dermaga dan menyelam ke dalamnya. Namun ternyata, hal itu tak boleh saya lakukan.

Ya, sejak diubah menjadi desa wisata, masyarakat Arborek punya aturan adat yang melarang siapapun, termasuk wisatawan dan penduduknya, untuk melompat dari dermaga. Hal ini mereka lakukan demi menjaga kelestarian terumbu karang yang ada di sekitar dermaga. 

Mereka sadar terumbu karang serta biota laut yang berlindung di baliknya adalah potensi utama Arborek yang menjadi magnet penarik wisatawan. Jika rusak, pengunjung yang datang ke sana bisa berkurang. 

Hal lain yang mereka lakukan adalah melarang penangkapan ikan di dermaga dan sekitar pulau. Aturan adat yang dikenal dengan nama "Sasi Laut" ini dijalankan untuk menjaga kelestarian biota laut di sekitar dermaga dan pulau. 

"Dulu banyak toh yang tolak aturan ini, tapi mereka lihat itu ada penghasilan tambahan dari wisatawan, dari homestay, antar-antar perahu. Mereka jadi sadar dan mau menurut," kenang pria berambut keriting ini.  

Sadar karena Desa Wisata

Salah satu homestay di Arborek. Sumber: stayrajaampat.com
Salah satu homestay di Arborek. Sumber: stayrajaampat.com

Ketika matahari mulai terasa membakar wajah, Pace Nominsen mengajak saya beranjak dari dermaga kayu, berjalan menuju hamparan pasir putih tempat lima anak Arborek bermain-main.  Di sisi lain, di ujung pantai, terlihat pohon bakau yang menggerombol.

Saya memilih duduk di bangku santai yang memang disediakan untuk wisatawan di sana. Terasa tenang dan damai sekali , wajar jika banyak yang ingin menghabiskan waktu di sini. 

Pace Nominsen melanjutkan obrolan kami, "Sama dengan Sasi, dulu masyarakat sini tak mau itu menanam bakau, toh. Tapi sejak jadi desa wisata, mereka sadar pulau dan penghasilan mereka bisa hilang kalau mereka tak tanam itu pohon."

Dua desa wisata tadi menjadi contoh bahwa wisata yang tumbuh dari masyarakat lokal bukan hanya bisa meningkatkan ekonomi, namun bisa membuat masyarakat lebih merasa "memiliki" dan mencintai desanya.

Mengapa Desa Wisata?

Saya baru mengenal konsep desa wisata beberapa tahun belakangan ini, walaupun sebenarnya konsep ini bukan hal baru bagi pariwisata dunia dan Indonesia.  Selain dua desa wisata yang saya ceritakan di atas, ribuan desa wisata tersebar di Indonesia, mulai dari ujung barat ke ujung timur, ujung utara hingga selatan Indonesia. 

Para ahli pariwisata menyebut sistem pengeloaan wisata berbasis desa ini sebagai ommunity-based tourism (CBT) alias pariwisata berbasis komunitas. Yakni pengembangan pariwisata yang berfokus pada aspek sosial, ekologi, dan pariwisata berbasis masyarakat. Desa wisata merupakan daerah pedesaan yang memiliki ciri khas khusus untuk menjadi destinasi wisata dengan keunikan fisik dan kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat sebagai daya tarik.  

Sementara Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2018) mengatakan bahwa Desa wisata adalah desa yang memiliki daya tarik tersendiri –bisa dalam bentuk keunikan fisik dari lingkungan pedesaan, serta kehidupan sosial budayanya–yang dikemas secara alami dan menarik.

Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat pada tahun 2019 jumlah desa/kelurahan di Indonesia sebanyak 83.820 desa. BPS juga mencatat ada sekitar 1.302 desa wisata pada 2014, dan angka tersebut melonjak pada menjadi 1.734 desa berpotensi menjadi desa wisata di sepanjang tahun 2018.Sementara di ADWI (Anugerah Desa Wisata Indonesia), ada 1.838 desa wisata yang tercatat dalam data base mereka hingga tahun 2021.

Pelepasan peserta Jelajah Desa Wisata Ramah Berkendara di Desa Carangsari, Bali (sumber: adira finance)
Pelepasan peserta Jelajah Desa Wisata Ramah Berkendara di Desa Carangsari, Bali (sumber: adira finance)

Adira Finance melalui Festival Kreatif Lokal juga mendukung terciptanya desa-desa wisata. Ada Desa Rejowinangun di Yogyakarta, Desa Sanankerto di Malang, Desa Carangsari di Bali, Desa Karanganyar di Magelang, dan Desa Alamendah di Bandung yang mendapat anugerah dari Adira Finance karena dinilai pas sebagai Desa Wisata Ramah Berkendara. 

Desa wisata yang terpilih adalah desa wisata yang memiliki komponen-komponen pendukung seperti infrastruktur berkendara, dan sumber daya manusia serta ekosistem pariwisata dan ekonomi kreatif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun