Mohon tunggu...
Rahmatul Ummah As Saury
Rahmatul Ummah As Saury Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis dan Editor Lepas. Pemilik www.omah1001.com

Ingin menikmati kebebasan yang damai dan menyejukkan, keberagaman yang indah, mendamba komunitas yang tak melulu mencari kesalahan, tapi selalu bahu membahu untuk saling menunjuki kebenaran yang sejuk dan aman untuk berteduh semua orang.. Kata dan Ingatan saya sebagian ditulis di www.omah1001.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Titip Rindu untuk Lelaki Laut

16 Oktober 2019   02:19 Diperbarui: 16 Oktober 2019   22:17 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: nusantaranews.co

Apa kabar engkau, Laut? Sudah lama keakraban kita pudar tercerai menjadi serpihan ingatan yang menghadirkan kesedihan. Aku merindukan gelegar samuderamu, menghempasku menjadi puing-puing yang tak berdaya di tegarnya karangmu! Apa kabar engkau, Laut?

Hari ini, aku berdiri di bibir pantai. Bukan untuk menikmati senja atau membiarkan diri rebah dalam senandung ombak dan desir angin pantai. Aku berdiri di bibir pantai, mengatupkan kelopak mata untuk merasakan hadirmu. Alun ombak adalah getar kata-katamu, desir angin adalah belai mesramu. Aku merindukanmu, menjelma menjadi pasir yang kupijak, menjadi angin yang membelai, menjadi gelora yang memeluk. 

Memang kita tak pernah pergi ke pantai. Namun, aku mengerti dirimu adalah laut biru, yang mengajarkan kedalaman tanpa berisik.

Di suatu sore, di tengah deras hujan kamu pernah mengeja kata-kata mukjizat Kahlil Gibran. Aku tak benar-benar peduli dan tertarik memahaminya, karena kala itu aku hanya paham dan peduli, engkau ada bersamaku. Memelukku agar tak membeku dan menghadiahiku ciuman berkali-kali setiap hendak berpisah, seakan-akan itu adalah pertemuan terakhir.

Kini, setelah kita tak pernah lagi bertegur sapa, benar-benar tak pernah bertemu lagi, aku baru merapal kata-kata itu, memahami tentang kedalaman dan keabadian dari setiap sentuhan dan erat genggam tanganmu.

***

Beberapa tahun yang lalu.

"Kok bisa suka?" aku heran kenapa tiba-tiba dengan berani kamu berani menyatakan kamu menyukaiku, meski aku sadari aku juga sangat mengagumi dan tentu saja menyukaimu.

"Aku juga tak mengerti." Jawabmu singkat.

Tentu aku terus memburumu dengan banyak pertanyaan, agar aku yakin, kamu tidak sedang bercanda kala itu.

Kamu tersudut, tak bisa menjelaskan. 

Aku tak percaya.

Anehnya, meski aku tak percaya aku diam-diam memupuk rasa kagum dan sayangku. Dan, aku berharap kamu benar-benar menyukaiku. 

"Aku tak bisa menjelaskan mengapa aku suka, mungkin karena nama, mungkin pula karena wajah, atau mungkin karena semuanya!" katamu di satu sore, pada saat kita terjebak gerimis hingga tak bisa pulang.

Aku sebenarnya tak peduli gerimis. Aku tak pulang, karena aku terjebak dalam perasaan tak ingin buru-buru berpisah. Dan, gerimis hadir menjadi alasan.

"Cinta itu abstrak dan metafisik. Tak mungkin bisa dijelaskan, semakin dijelaskan semakin ia tak jelas! Cinta itu soal rasa, datang tiba-tiba tanpa bisa ditolak. Aku hanya tahu, ada ruang yang terisi dengan hadirmu, ada ruang yang kosong kala kamu menjauh, ada rindu." Panjang lebar engkau menjelaskan.

Sebenarnya aku tak peduli dengan penjelasanmu. Untuk mencintaimu aku tak butuh alasan, bahkan sebenarnya aku tak peduli apakah kamu cinta atau tidak. Mencintaimu adalah kemerdekaanku, soal rasaku. Aku bebas untuk mencintaimu sebagaimana kamu bebas untuk tidak mencintaiku. 

"Kok diam?" kamu tiba-tiba mengejutkanku.

"Aku sedang menyimak dan menunggu engkau meneruskan penjelasanmu." aku berusaha bersikap biasa.

"'Kan, sudah kukatakan tak ada yang perlu aku jelaskan soal itu." 

Aku terdiam.

"Begini saja, lupakan soal itu. Jika kamu terganggu, aku minta maaf. Biarkan saja aku suka, tanpa harus kamu balas menyukaiku. Anggaplah serupa barat dan timur yang ditakdirkan berpasangan, tetapi tak pernah bertemu, seperti siang dan malam yang tak pernah menyatu."Lanjutmu

"Aku tak ingin seperti siang dan malam, atau timur dan barat. Aku ingin seperti laut dan pantai. Meski terkadang pasang, terkadang pula surut, tetapi ia tak mungkin dipisah."Aku membalas.

Kamu tersenyum dan tiba-tiba menggenggam jemariku dengan kuat.

Gerimis telah mereda. Aku sebenarnya berharap hujan turun lebih deras.

Kamu mengajakku berpisah, kita pun pulang masing-masing.

Setelah gerimis sore itu, aku tak pernah lagi bertanya tentang alasanmu. Aku hanya tahu engkau adalah kekasihku dan aku adalah kekasihmu. 

Kita akhirnya menjalani sebuah hubungan yang berbeda, lebih menyenangkan.

Hingga ...

Di suatu siang yang perih, engkau memarahiku, melarangku menghubungimu.

Aku terpuruk. Sakit! Sejak saat itu aku tak ada lagi perbincangan antara aku dan kamu. 

Aku bertekad melupakanmu dan menghapus setiap kenangan!

***

Saat ini, setelah bertahun-tahun tak bertemu. Aku menyadari bahwa tak ada jejak yang benar-benar pupus. Tapakmu membekas begitu dalam, di teras rumah, di jalan setapak, di pematang sawah yang pernah kita lalui, dan di setiap rintik hujan.

Aku menyadari tentang kedalaman, tentang kerinduan malam pada siang.

Maka, di bibir pantai ini, dengan mata terpejam, aku merasakan hadirmu begitu dekat, begitu erat, bersemayan dalam jiwaku!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun