Beberapa bulan terakhir, dunia media sosial ramai membicarakan istilah baru: "crashing out." Di TikTok, kamu mungkin pernah melihat seseorang menangis di mobil, tiba-tiba memutuskan untuk tidur seharian, atau mengunggah video ketika merasa mati rasa lalu video itu diberi caption, "Sorry, I'm crashing out."
Fenomena ini menarik simpati, bahkan jadi aesthetic. Namun, di balik estetika kesedihan yang viral itu, ada persoalan serius yang seharusnya tidak dianggap normal atau tren. Crashing out bukanlah gaya hidup, melainkan sinyal bahwa seseorang berada di ambang kelelahan emosional yang parah.
Apa Itu Crashing Out?
Crashing out adalah istilah non-klinis yang digunakan untuk menggambarkan kondisi ketika seseorang mengalami ledakan emosi secara tiba-tiba setelah menahan tekanan psikologis dalam waktu lama.
Emosi yang tertahan ini akhirnya meledak dalam berbagai bentuk: tangisan mendalam tanpa pemicu yang jelas, keinginan kuat untuk mengisolasi diri dari lingkungan sosial, tidur berlebihan akibat kelelahan mental, hingga munculnya kemarahan atau frustrasi yang tidak proporsional terhadap hal-hal sepele.
Dalam konteks psikologi, kondisi ini dikaitkan dengan emotional dysregulation atau ketidakmampuan seseorang dalam mengelola emosi secara sehat, sebagaimana dijelaskan oleh Gross (1998).Â
Sering kali, ini menjadi puncak dari burnout atau high-functioning anxiety, ketika seseorang terlihat baik-baik saja dari luar, namun rapuh secara internal (Maslach & Leiter, 2016).
Mengapa Crashing Out Jadi Tren?
Popularitas crashing out tidak lepas dari budaya media sosial yang kerap menampilkan sisi paling emosional seseorang secara terbuka. Di TikTok dan Instagram, muncul tren "terapi publik," di mana pengguna mendokumentasikan momen-momen rentan seperti menangis, marah, atau merasa hampa.
Bagi sebagian orang, ini bisa menjadi bentuk ekspresi diri yang jujur dan bahkan membebaskan. Namun, tak sedikit yang menyebut fenomena ini sebagai bentuk performativitas emosional di mana kesedihan seolah menjadi konten konsumsi.
Bahkan, menurut laporan The Guardian (2025), lebih dari 50% konten TikTok bertagar kesehatan mental terbukti mengandung misinformasi. Ini memperkuat kekhawatiran bahwa menjadikan "crashing out" sebagai tren dapat menyesatkan persepsi publik tentang kesehatan mental dan strategi coping yang sehat.
Risiko yang Tidak Terlihat
Di balik tampilan "relatable" dan simpati warganet, crashing out membawa risiko besar jika tidak ditangani dengan benar. Salah satu bahaya utamanya adalah kecenderungan untuk melakukan self-diagnosis yang keliru.Â
Ketika seseorang menganggap ledakan emosi sebagai hal biasa, mereka mungkin tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka sedang mengalami gejala awal dari gangguan seperti depresi atau gangguan kecemasan.
Selain itu, menjadikan crash out sebagai cara meluapkan emosi dapat membentuk kebiasaan coping yang tidak sehat. Alih-alih membangun mekanisme pengelolaan stres jangka panjang, seseorang justru terbiasa menunggu sampai mereka benar-benar "jatuh" untuk kemudian mencari bantuan.
Lebih parah lagi, jika momen-momen emosional itu terus-menerus dipublikasikan demi mendapat validasi sosial, maka individu tersebut bisa tanpa sadar mengeksploitasi rasa sakitnya sendiri demi perhatian dan ini sangat berisiko terhadap kesejahteraan mental jangka panjang.
Seperti dijelaskan WHO (2023), kesehatan mental sejatinya mencakup kemampuan untuk berfungsi secara sosial, emosional, dan kognitif secara seimbang bukan hanya sekadar mengekspresikan perasaan.
Tanda Kamu Sedang Menuju Crashing Out
Mengenali gejala awal sebelum benar-benar meledak secara emosional adalah langkah penting dalam pencegahan. Jika kamu merasa sangat lelah bahkan tanpa aktivitas fisik yang berat, itu bisa jadi sinyal awal kelelahan psikologis.Â
Perasaan ingin mengasingkan diri secara ekstrem, bukan karena ingin menyendiri tapi karena tidak mampu bersosialisasi, juga menjadi indikator yang patut diwaspadai.
Selain itu, jika kamu merasa hampa atau kosong tanpa alasan yang jelas, atau muncul dorongan untuk merekam dan membagikan momen menangis agar orang lain tahu kamu butuh pertolongan, maka kamu mungkin sedang berada dalam jalur menuju crash out.Â
Kondisi ini tidak seharusnya kamu abaikan atau kamu normalisasi hanya karena sering kamu lihat di media sosial.
Solusi Sehat: Jangan Tunggu Meledak
Mengelola kesehatan emosional bukanlah sesuatu yang hanya dilakukan saat kita sudah dalam kondisi darurat. Salah satu pendekatan paling efektif adalah terapi yang fokus pada regulasi emosi, seperti Dialectical Behavior Therapy (DBT) yang dikembangkan oleh Linehan (1993).
Terapi ini terbukti mampu membantu individu mengenali, menerima, dan mengatur emosi mereka dengan cara yang lebih konstruktif. Selain itu, penting juga untuk membangun kebiasaan manajemen stres sehari-hari seperti latihan pernapasan, meditasi, atau menulis jurnal sebagai media refleksi. Menjaga pola tidur dan nutrisi juga berdampak besar terhadap stabilitas emosional karena tubuh dan pikiran saling terhubung.
Membangun sistem dukungan emosional melalui teman dekat, keluarga, atau profesional juga merupakan kunci agar kamu tidak merasa sendirian saat menghadapi tekanan. Dan yang paling penting: validasi emosimu tidak harus didapat dari sorotan publik. Kamu tetap layak mendapatkan perhatian dan bantuan, bahkan tanpa membagikan penderitaanmu ke internet.
Penutup: Jangan Menormalkan Ledakan Emosi
Kita semua bisa crashing out, dan itu manusiawi. Tapi menjadikan ledakan emosional sebagai tren yang dirayakan adalah bentuk normalisasi terhadap disfungsi psikologis.
Jika kamu merasa berada di ambang batas, langkah paling bijak adalah meminta bantuan bukan pada penonton, tapi pada orang yang bisa benar-benar mendengarkan dan membantu.
Dalam dunia yang sibuk dan bising, keberanian sejati bukanlah viral, tapi pulih dengan diam-diam.
Referensi:
- Gross, J.J. (1998). The emerging field of emotion regulation: An integrative review. Review of General Psychology.
- Maslach, C. & Leiter, M.P. (2016). Burnout: The Cost of Caring.
- Linehan, M.M. (1993). Cognitive-Behavioral Treatment of Borderline Personality Disorder.
- WHO. (2023). Mental health: Strengthening our response.
- The Guardian. (2025). More than half of top 100 mental health TikToks contain misinformation.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI