Selain itu, jika kamu merasa hampa atau kosong tanpa alasan yang jelas, atau muncul dorongan untuk merekam dan membagikan momen menangis agar orang lain tahu kamu butuh pertolongan, maka kamu mungkin sedang berada dalam jalur menuju crash out.Â
Kondisi ini tidak seharusnya kamu abaikan atau kamu normalisasi hanya karena sering kamu lihat di media sosial.
Solusi Sehat: Jangan Tunggu Meledak
Mengelola kesehatan emosional bukanlah sesuatu yang hanya dilakukan saat kita sudah dalam kondisi darurat. Salah satu pendekatan paling efektif adalah terapi yang fokus pada regulasi emosi, seperti Dialectical Behavior Therapy (DBT) yang dikembangkan oleh Linehan (1993).
Terapi ini terbukti mampu membantu individu mengenali, menerima, dan mengatur emosi mereka dengan cara yang lebih konstruktif. Selain itu, penting juga untuk membangun kebiasaan manajemen stres sehari-hari seperti latihan pernapasan, meditasi, atau menulis jurnal sebagai media refleksi. Menjaga pola tidur dan nutrisi juga berdampak besar terhadap stabilitas emosional karena tubuh dan pikiran saling terhubung.
Membangun sistem dukungan emosional melalui teman dekat, keluarga, atau profesional juga merupakan kunci agar kamu tidak merasa sendirian saat menghadapi tekanan. Dan yang paling penting: validasi emosimu tidak harus didapat dari sorotan publik. Kamu tetap layak mendapatkan perhatian dan bantuan, bahkan tanpa membagikan penderitaanmu ke internet.
Penutup: Jangan Menormalkan Ledakan Emosi
Kita semua bisa crashing out, dan itu manusiawi. Tapi menjadikan ledakan emosional sebagai tren yang dirayakan adalah bentuk normalisasi terhadap disfungsi psikologis.
Jika kamu merasa berada di ambang batas, langkah paling bijak adalah meminta bantuan bukan pada penonton, tapi pada orang yang bisa benar-benar mendengarkan dan membantu.
Dalam dunia yang sibuk dan bising, keberanian sejati bukanlah viral, tapi pulih dengan diam-diam.