Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

3 Kasus Kesalahpahaman Gen-Z tentang Mental Health dan Psikologi

11 Mei 2022   14:29 Diperbarui: 11 Mei 2022   14:49 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: pixabay.com

Setiap generasi pasti punya ciri khas masing-masing tergantung pada zaman mereka dibesarkan. Generasi Z yang dilahirkan pada kurun waktu 1996-2012, memang sering dikaitkan dengan pemuda yang melek teknologi, inovasi, dan juga yang amat disayangkan sering melakukan kesalahpahaman terhadap beberapa hal-hal psikologi, terutama  yang berkaitan dengan mental health dan sejenisnya.


Memang kita tahu bahwa semakin gencarnya penyebaran informasi membuat banyak orang khususnya Gen z ini, ingin selalu mengerti terhadap segala informasi. Dan tentu dalam informasi di bidang psikologi mereka juga harus ingin selalu mengerti dengan segala seluk-beluknya. 

Memang bagus sih belajar psikologi untuk mengerti dan mengembangkan diri, namun banyak dari Gen-z ini sering mengambil sepotong-sepotong informasi psikologi ini dan hanya mengambil apa yang menguntungkan mereka saja, khususnya yang bisa menutupi mental tempe mereka.


Seperti yang beberapa waktu ini terjadi, yakni ada seorang anak Gen-z yang pergi potong rambut ke salon lalu dia merasa di-Gaslighting oleh hairdresser disana yang berkata bahwa rambutnya kering. 

Padahal si hairdresser ini hanya berkata apa adanya dan dengan tata bahasa yang sopan yakni "rambutnya kering ya kak", dan tanpa tambahan menghina dan men-judgemental  seperti "rambutnya kering ,abis mulung ya kak", atau "Kakak nggak pernah mandi berapa tahun? kering banget rambutnya!".


Dari kasus inilah saya sebagai mahasiswa psikologi yang resah akhirnya berinisiatif untuk mengumpulkan beberapa kasus tentang kesalahpahaman mereka terkait fakta-fakta psikologis yang memang kerap kali tersebar di media sosial. Sebelum kita menghujat para Gen z ini memang ada baiknya meluruskan kekeliruan mereka terlebih dahulu.


1.Gaslighting oleh hairdresser


Kita mulai terlebih dahulu dari kasus yang sedang hangat dibicarakan saat ini. Perihal berkata rambut kering kepadanya bisa dimaknai gaslighting dan saya rasa pemahaman dia yang merasa di-gaslighting ini, tentang makna sebenarnya apa itu gaslighting sudah tidak utuh. 

Saya paham bahwa dia berpendapat bahwa segala sesuatu yang orang lain perbuat dan tidak berkenan dengannya dia maknai sebagai gaslighting. Hal tersebut bisa dilakukan karena ingin terlihat benar dan juga tidak ketinggalan zaman walaupun salah pada dasarnya.

Gaslighting sendiri jika kita lihat pengertiannya adalah sebuah bentuk manipulasi emosional yang dimana pelakunya mencoba secara sadar atau tidak untuk korban merasa bahwa reaksi, persepsi, ingatan, dan keyakinannya itu salah.

 Secara singkat ya gaslighting itu bohong tapi lebih manipulatif saja sih, biasanya juga dilakukan orang terdekat seperti pasangan (khususnya yang sering ketahuan selingkuh hehehe).


Kalau pada kasus hairdresser yang "diduga" gaslighting ini, sudah tentu si Gen Z yang merasa di-gaslighting tidak masuk akal. Untuk apa seorang hairdresser memanipulasi kondisi rambut customer-nya?, agar produk salon kecantikannya laku?. 

Pastilah seorang hairdresser lebih tahu tentang keadaan rambut customer dan mungkin juga ingin menawarkan beberapa treatments untuk kondisi rambut si paling di-gaslighting ini.

2.Healing 6 bulan Seorang Mahasiswa Baru

Sebelum kasus gaslighting ini juga pernah ada kasus seorang mahasiswa baru yang mengeluhkan butuh healing karena penat tugas kuliah yang baru jalan satu semester dan ingin mengajukan cuti selama 6 bulan guna healing-nya, yang pada akhirnya tentu saja dilarang orang tuanya. Kalau tidak salah hal ini ramai diperbincangkan di Twitter dengan berbagai balasan dan cuitan yang mana pasti menghujat si mahasiswa baru ini.


Seperti kasus gaslighting tadi, pastilah adanya kekeliruan pada pemahaman si mahasiswa baru tersebut tentang arti sebenarnya dari healing ini. Jika saya bisa berpendapat, arti healing menurut dia bisa jadi sebuah pelepas penat dan juga aktivitas self-reward yang menyenangkan. Jadi segala tantangan yang ada dan juga masalah yang dia hadapi dan itu mengganggu kesenangan dia harus dilakukan proses "healing" menurut dia.


Padahal dalam pengertiannya secara psikologi sebenarnya healing ini dilakukan guna menyembuhkan luka psikologis dan penanganannya dilakukan dengan pendampingan orang yang profesional dalam bidang psikologi seperti psikiater atau psikolog. 

Biasanya juga luka yang menyebabkan seseorang melakukan healing ini bukan masalah remeh-temeh dan benar-benar serius menyebabkan trauma dan depresi berat, seperti trauma kecelakaan, kehilangan orang yang dicintai, dan berbagai gejala PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) lainnya.


Jika dilihat dari masalah si mahasiswa baru ini, sebenarnya dia hanya butuh refreshing biasa dan tidak perlu healing selama 6 bulan. Kualitas healing juga tidak dipatok oleh waktu yang makin lama makin baik tapi dari penyelesaian masalah yang menyebabkan luka psikologis itu. 

Kembali ke kasus si mahasiswa baru tadi, sebenarnya masalah yang dia alami sebenarnya hanya beberapa masalah adaptasi yang terjadi saat masa perkuliahan karena masih baru lulus dari dunia SMA yang berbeda dengan dunia kuliah.


3.Sering self-diagnose dari Sumber yang Tidak Jelas

Dalam hal kesehatan mental dan psikologis, self-diagnose adalah hal yang sangat fatal bagi orang yang melakukannya. Mendiagnosis diri dari banyak informasi mengenai penyakit mental dan juga berbagai hasil tes psikologi yang tidak jelas asal-usulnya membuat orang yang melakukannya dapat merasa sakit mental padahal dia baik-baik saja dan bahkan juga sebaliknya.


Gen z yang sangat melek informasi ini terkadang menggunakan informasi-informasi yang berasal dari internet dan kerap juga tidak kredibel untuk menentukan dirinya punya "mental illnes" atau tidak. 

Hal yang berkaitan dengan kesehatan mental dan juga psikologi memang sedang tren dan jadi perbincangan banyak anak muda dan membuat mereka yang punya masalah di kesehatan mental dapat perhatian lebih khususnya di sosial media. Sehingga secara tidak langsung banyak anak muda jadi ingin punya masalah kesehatan mental agar mendapatkan banyak perhatian di sosial media.


Baru-baru ini juga telah booming di platform Tiktok yang menyebarkan tes psikologi yang berbentuk Google Form. Yang saya ketahui dari tes psikologi tersebut adalah untuk mengukur seberapa depresi seseorang. Link dari tes psikologi tersebut lantas sangat diburu oleh banyak orang yang merasa dirinya depresi, khususnya Gen z.


Namun yang sangat disayangkan adalah sumber dan validitas yang tidak jelas dari mana. Seharusnya terdapat prosedur dan juga aturan untuk membagikan alat psikologi (dalam kasus ini tes psikologi tadi) ke publik atau klien. Dan juga dalam menentukan hasil data psikologi sebenarnya lebih baik menggunakan tenaga psikologi ahli.


Yang saya pelajari juga sebenarnya untuk menentukan depresi, kepribadian, dan hal lainnya yang berkaitan dengan kondisi psikologi seseorang seharusnya menggunakan lebih dari satu alat tes agar hasilnya lebih akurat. Merasa yakin dengan hasil tes psikologi yang tidak tahu asal-usulnya bisa jadi sebuah sumber self-diagnose yang berbahaya.


Sekali lagi saya ingatkan untuk teman-teman yang sedang aware tentang berbagai isu mental health agar tidak melakukan self-diagnose dan jika ada "sesuatu" dalam diri kalian yang mengganggu aktivitas keseharian kalian langsung saja datang ke tenaga profesional di bidang psikologi. 

Jangan sok tahu kalian untuk menentukan depresi dan penyakit mental yang ada pada diri kalian. Seorang sarjana psikologi saja tidak diperkenankan untuk mendiagnosis penyakit mental seseorang sebelum lulus magister psikologi klinis, lah apalagi Anda yang cuma tahu informasi mental health dari sosmed sambil rebahan.


Sebenarnya tulisan ini tidak untuk merendahkan semua Gen z dan melabeli mereka semua sebagai seorang yang sok tahu dalam isu mental health dan psikologi. 

Saya sendiri juga seorang Gen z jika dilihat dari tahun lahir saya, namun sangat disayangkan bahwa beberapa orang di generasi kita, yang melek dengan informasi ini tidak dibarengi dengan melek literasi mendalam tentang informasi yang terkait, dalam hal ini ya tentang mental health dan psikologi tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun