Senat Mahasiswa semestinya hadir sebagai organ representatif yang menjadi ruang artikulasi aspirasi. Tetapi di FDK hari ini, kita menyaksikan paradoks, lembaga yang seharusnya mengabdi pada kepentingan mahasiswa justru terjebak dalam fetisisme formalitas.
SEMA FDK sepanjang periode ini hidup dalam tujuh rukun seremonial: Pelantikan, Rapat Kerja, Latihan Dasar Kepemimpinan, Pemira, Mubes SEMA dan DEMA F, dan kata sambutan dalam forum-forum seremonial. Tujuh ritual ini dijalankan layaknya liturgi kekuasaan, ia menghadirkan legitimasi simbolik, tetapi kehilangan basis material. Inilah bentuk alienasi organisasi mahasiswa yang sibuk mengulang ritual struktural, namun tercerabut dari realitas mahasiswa yang menjadi fondasi keberadaannya. Mereka pernah menyelenggarakan rapat yang cukup urgent tapi lagi-lagi itu karena desakan polemik PBAK, bukan atas dasar aspirasi mahasiswa.
Sementara itu, realitas mahasiswa FDK jauh lebih getir, dari keluhan parkiran yang memprihatinkan, mahasiswa yang tak berani mengungkap ketika dilecehkan, distribusi bantuan yang tak pernah transparan, informasi Kuliah Pengabdian Masyarakat yang telat dan eksklusif hanya untuk beberapa mahasiswa, hingga mahasiswa yang menahan tangis setiap kali menjelang pembayaran UKT karena kebingungan mencari biaya. Semua problem material ini adalah kenyataan sehari-hari, tetapi SEMA FDK memilih diam.
Situasi ini mengingatkan pada tesis Karl Marx, yaitu setiap sistem yang bertumpu pada kontradiksi internalnya sendiri pada akhirnya akan runtuh. Kapitalisme runtuh bukan karena serangan dari luar, tetapi karena kontradiksi di dalam tubuhnya sendiri. Begitu juga ormawa yang hanya menggantungkan legitimasi pada formalitas, ia akan runtuh dalam keheningannya sendiri.
Dan Soe Hok Gie menulis dengan getir: "Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua adalah mati muda dan yang tersial adalah berumur tua tetapi tidak pernah jadi apa-apa." Sebuah kalimat yang kini relevan, betapa tragisnya lembaga mahasiswa yang menua dalam periode kepengurusan, tetapi tak pernah jadi apa-apa bagi mereka yang diwakilinya.
Maka predikat yang paling layak hari ini adalah: SEMA FDK berhasil menjadi ormawa paling diam. Diam ketika mahasiswa mencari representasi. Diam ketika kebijakan kampus menindas. Diam ketika problem struktural menjerat kehidupan sehari-hari mahasiswa.
Diam bukanlah takdir. Kritik ini sebagai tantangan intelektual. Apakah SEMA FDK puas dikenang sebagai ormawa paling diam, atau berani melampaui dirinya untuk menjadi organ perjuangan mahasiswa?
Kini pertanyaan terakhir berdiri tepat di depan muka kalian. "Apakah SEMA FDK memilih runtuh dalam diam, atau bangkit menjadi suara nyata mahasiswa?"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI