Tabu ini menciptakan generasi yang bingung antara dosa dan kebutuhan.
Yang kita butuhin itu bukan pendidikan seksual kaya barat. Kita ga butuh ngajarin soal gaya seks atau yang lain. Yang kita butuhin tuh ngajarin anak supaya kenal dan jaga tubuhnya. Ngajarin anak bahwa menstruasi itu wajar. Sentuhan dari lawan jenis tanpa izin itu kekerasan seksual. Ngajarin bahwa pacaran ga boleh sampai menghilangkan batas dan logika.
Sekali lagi, penulis mau bilang. Pendidikan seks itu bukan soal ngajarin cabul. Tapi pendidikan seks itu mencegah kekacauan di esok hari. Kalau kita terus-terusan pakai alasan "malu", "gak pantas"dan "ngerusak moral", ya siap-siap aja melahirkan generasi yang terus mewarisi kebingungan.
Malu itu baik. Tapi kebodohan yang dibungkus malu? itu malapetaka buat kita.
Harus ada satu konsekuensi sosial juga buat para pelaku kejahatan seksual yang gapernah jera ini.
Penulis sering mengamati perilaku anak muda khususnya laki-laki yang sebaya dengan penulis (sekitar 20 sampai 25 tahun) di Banda Aceh. Mungkin karena dari kecil pendidikan seksual ini masih dianggap tabu, juga ketatnya norma dan penerapan syariat islam di kehidupan sehari-hari. Ini ga berimbas ke moral masyarakat aja. Hal ini menurut penulis, juga berimbas ke perilaku dan pandangan anak laki-laki terhadap perempuan. 3 dari 5 anak laki-laki yang pernah berinteraksi dengan penulis memiliki perilaku dan pandangan yang agak cabul dalam konteks melihat perempuan. Sering kali penulis melihat secara langsung anak laki-laki melakukan cat calling terhadap perempuan yang ia kenal maupun tidak.
Ini membuat perempuan seakan-akan selalu menjadi bahan bercandaan bagi laki-laki. Ketika diposisi ini seringkali perempuan jadi merasa takut dan membatasi ruangnya dalam berekspresi hanya karena untuk menghindari interaksi dengan laki-laki. Ini lah yang penulis anggap sebagai salah satu hal yang menghambat terciptanya kesetaraan gender di Banda Aceh.
Seharusnya hal ini bisa dihilangkan ketika kita mau bicara masalah kesetaraan gender. Kalau kita mau menghilangkan label patriarki pada laki-laki Aceh yang banyak disebut-sebut itu, kita bisa mulai dari sini. Kita bisa mulai membiasakan pendidikan seksual sejak dini pada anak-anak kita dengan banyak harapan. Agar bisa menjaga batasan, agar bisa melihat sebuah pernikahan itu tentang tanggung jawab, bukan sekedar nafsu dan kewajiban manusia dewasa yang sudah mapan. Pada akhirnya laki-laki dan perempuan bisa mendapat hak yang setara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI