Bayang-bayang Pendidikan Seksual di Aceh
Penulis adalah Rahmatal Riza
Di Aceh, hal yang paling berbahaya itu bukan ganja, bukan juga minuman beralkohol. Tapi bertanya.
Bertanya tentang reproduksi tubuh sendiri.
"Kenapa kemaluan saya sudah tumbuh bulu?". "Ayah, semalam saya mimpi bersetubuh dengan perempuan, itu kenapa?" langsung di jawab dengan penuh kecurigaan.
Entah kenapa pertanyaan-pertanyaan semacam ini dianggap menakutkan bagi anak-anak untuk ditanyakan kepada orang tua mereka. Padahal pertanyaan semacam ini, penulis anggap wajar saja bagi anak untuk ditanyakan kepada orang tua nya, mengingat peran orang tua sebagai sosok yang paling dekat sekaligus madrasah pertama buat anaknya.
Mulai dari pertanyaan anak laki-laki tentang mimpi basah sampai anak perempuan yang bertanya tentang haidnya.
Di sini, penasaran akan sesuatu yang tabu itu dosa dan mengetahui lebih dulu yang tabu-tabu itu bagai aib. Kalau bisa, belajar soal tubuh itu nanti aja setelah akad nikah selesai baru boleh tanya dan buka buku biologi lagi.
Ini semua jadi lucu apalagi kalau tinggal di tanah yang katanya penuh adat dan penerapan syariat Islam tapi malah miskin soal pendidikan seksual sejak dini. Bicara soal seks di sekolah harus bisik-bisik. Giliran bicara di rumah dijawab dengan istighfar.
Padahal ya, kalau kita bicara data. Kasus pernikahan dini, kehamilan remaja dan kejahatan seksual itu semuanya naik. Tapi kita lebih sibuk buat jaga malu daripada jaga pengetahuan.
Orang Aceh itu senang jaga nama baik. Nah penulis melihat kebiasaan menjaga nama baik bagi orang Aceh ini malah jadi sesuatu yang digunakan untuk menutup kebodohan struktural. Anak gadis yang hamil di luar nikah langsung dinikahkan. Jangan dibahas dan tutup rapat-rapat. Tapi, soal anak gadis tadi itu ga ngerti gimana cara kerja hormon, cara kerja alat reproduksinya itu gapernah jadi evaluasi. Yang penting aibnya ketutup.