Mohon tunggu...
Rahmatal Riza
Rahmatal Riza Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya Rahmatal Riza, lahir di Jakarta dan tumbuh di Depok. Namun ketika banyak orang mengejar pusat, saya justru memilih melangkah ke Banda Aceh—bukan karena ingin menjauh, tapi karena ingin lebih dekat dengan denyut tanah yang sering dilupakan. Saat ini saya adalah mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam di UIN Ar-Raniry. Perpindahan dari kota ke “ujung barat” ini bukan sekadar geografis, tapi juga ideologis. Saya belajar bahwa kebenaran tak selalu datang dari atas panggung. Tulisan saya lahir dari pertemuan antara dua dunia, kota besar yang serba cepat dan Aceh yang punya ritmenya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bayang-bayang Pendidikan Seksual di Aceh

12 Juni 2025   16:52 Diperbarui: 12 Juni 2025   16:52 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bayang-bayang Pendidikan Seksual di Aceh

Penulis adalah Rahmatal Riza

Di Aceh, hal yang paling berbahaya itu bukan ganja, bukan juga minuman beralkohol. Tapi bertanya.

Bertanya tentang reproduksi tubuh sendiri.

"Kenapa kemaluan saya sudah tumbuh bulu?". "Ayah, semalam saya mimpi bersetubuh dengan perempuan, itu kenapa?" langsung di jawab dengan penuh kecurigaan.

Entah kenapa pertanyaan-pertanyaan semacam ini dianggap menakutkan bagi anak-anak untuk ditanyakan kepada orang tua mereka. Padahal pertanyaan semacam ini, penulis anggap wajar saja bagi anak untuk ditanyakan kepada orang tua nya, mengingat peran orang tua sebagai sosok yang paling dekat sekaligus madrasah pertama buat anaknya.

Mulai dari pertanyaan anak laki-laki tentang mimpi basah sampai anak perempuan yang bertanya tentang haidnya.

Di sini, penasaran akan sesuatu yang tabu itu dosa dan mengetahui lebih dulu yang tabu-tabu itu bagai aib. Kalau bisa, belajar soal tubuh itu nanti aja setelah akad nikah selesai baru boleh tanya dan buka buku biologi lagi.

Ini semua jadi lucu apalagi kalau tinggal di tanah yang katanya penuh adat dan penerapan syariat Islam tapi malah miskin soal pendidikan seksual sejak dini. Bicara soal seks di sekolah harus bisik-bisik. Giliran bicara di rumah dijawab dengan istighfar.

Padahal ya, kalau kita bicara data. Kasus pernikahan dini, kehamilan remaja dan kejahatan seksual itu semuanya naik. Tapi kita lebih sibuk buat jaga malu daripada jaga pengetahuan.

Orang Aceh itu senang jaga nama baik. Nah penulis melihat kebiasaan menjaga nama baik bagi orang Aceh ini malah jadi sesuatu yang digunakan untuk menutup kebodohan struktural. Anak gadis yang hamil di luar nikah langsung dinikahkan. Jangan dibahas dan tutup rapat-rapat. Tapi, soal anak gadis tadi itu ga ngerti gimana cara kerja hormon, cara kerja alat reproduksinya itu gapernah jadi evaluasi. Yang penting aibnya ketutup.

Kalau ada mahasiswa yang kampanye tentang edukasi seksual langsung dicap liberal, merusak moral atau kebarat-baratan. Masyarakat takut edukasi seksual ini bakal bikin anak-anak jadi nakal. Padahal justru ketidaktahuan inilah yang bikin anak-anak jadi ngawur.

Menstruasi dianggap tabu, mimpi basah dianggap aib, kalau beli pembalut disembunyikan dalam plastik hitam kayak barang ilegal. Bahkan beli kondom dan alat kontrasepsi di apotek bikin orang-orang yang antri dibelakang terheran-heran. Heran juga kenapa edukasi dianggap lebih berbahaya daripada ketidaktahuan.

Ya kalau heran sama yang tadi, alesannya pasti klasik. "Ini Aceh, Serambi Mekkah, gak sopan bicara begitu". Tapi, orang-orang lupa bahwa dalam islam pun, Nabi Muhammad pernah bahas hubungan suami istri dengan bahasa yang santun. Kitab -kitab fiqih itu bahasanya jelas soal haid, hubungan intim, dan tanggung jawab terhadap tubuh sendiri.

Tapi tafsir yang dipakai hari ini lebih suka yang menghukum daripada mendidik. Lebih nyaman menyebut "zina" 100 kali dalam khutbah jumat daripada menyebut "bersetubuh" satu kali aja di dalam kelas. Ya, akhirnya agama cuma dijadiin pagar tembok kalau gini.

Nah, penulis punya asumsi bahwa karna ga pernah diajarin soal pendidikan seksual, akhirnya anak-anak belajar sendiri. Cari di internet, lihat dari film, dengar dari teman. Terus karna gaada pendampingan akhirnya mereka belajar dari yang paling bikin kacau, Pornografi.

Hasilnya anak-anak kita tumbuh jadi generasi yang berpikir bahwa hubungan itu cuma soal nafsu, bukan soal tanggung jawab. Bahwa menikah itu adalah soal kewajiban setelah dewasa, bukan tentang saling menerima dan melengkapi.

Ironis ketika ketidaktahuan ini malah memperluas ruang bagi pelaku kekerasan seksual. Beberapa kasus besar di Aceh sering melibatkan tokoh agama sebagai pelaku kekerasan seksual. Mereka melakukan itu secara bebas dan berlindung dibalik agama dan kebodohan struktural ini.

Bahkan yang lebih parah, karna hal-hal yang tadi dianggap tabu, korban kekerasan seksual jadi lebih takut bicara daripada si pelaku. Yang selalu disalahkan tetap si korban. "ngapain ke sana malam-malam?"

"Pakaiannya pasti terbuka". Semua kalimat yang keluar adalah nyinyiran.

Tapi gaada yang pernah bertanya"kamu tau ga cara lindungin diri?"

"kamu tau ga kekerasan seksual itu apa?"

Tabu ini menciptakan generasi yang bingung antara dosa dan kebutuhan.

Yang kita butuhin itu bukan pendidikan seksual kaya barat. Kita ga butuh ngajarin soal gaya seks atau yang lain. Yang kita butuhin tuh ngajarin anak supaya kenal dan jaga tubuhnya. Ngajarin anak bahwa menstruasi itu wajar. Sentuhan dari lawan jenis tanpa izin itu kekerasan seksual. Ngajarin bahwa pacaran ga boleh sampai menghilangkan batas dan logika.

Sekali lagi, penulis mau bilang. Pendidikan seks itu bukan soal ngajarin cabul. Tapi pendidikan seks itu mencegah kekacauan di esok hari. Kalau kita terus-terusan pakai alasan "malu", "gak pantas"dan "ngerusak moral", ya siap-siap aja melahirkan generasi yang terus mewarisi kebingungan.

Malu itu baik. Tapi kebodohan yang dibungkus malu? itu malapetaka buat kita.

Harus ada satu konsekuensi sosial juga buat para pelaku kejahatan seksual yang gapernah jera ini.

Penulis sering mengamati perilaku anak muda khususnya laki-laki yang sebaya dengan penulis (sekitar 20 sampai 25 tahun) di Banda Aceh. Mungkin karena dari kecil pendidikan seksual ini masih dianggap tabu, juga ketatnya norma dan penerapan syariat islam di kehidupan sehari-hari. Ini ga berimbas ke moral masyarakat aja. Hal ini menurut penulis, juga berimbas ke perilaku dan pandangan anak laki-laki terhadap perempuan. 3 dari 5 anak laki-laki yang pernah berinteraksi dengan penulis memiliki perilaku dan pandangan yang agak cabul dalam konteks melihat perempuan. Sering kali penulis melihat secara langsung anak laki-laki melakukan cat calling terhadap perempuan yang ia kenal maupun tidak.

Ini membuat perempuan seakan-akan selalu menjadi bahan bercandaan bagi laki-laki. Ketika diposisi ini seringkali perempuan jadi merasa takut dan membatasi ruangnya dalam berekspresi hanya karena untuk menghindari interaksi dengan laki-laki. Ini lah yang penulis anggap sebagai salah satu hal yang menghambat terciptanya kesetaraan gender di Banda Aceh.

Seharusnya hal ini bisa dihilangkan ketika kita mau bicara masalah kesetaraan gender. Kalau kita mau menghilangkan label patriarki pada laki-laki Aceh yang banyak disebut-sebut itu, kita bisa mulai dari sini. Kita bisa mulai membiasakan pendidikan seksual sejak dini pada anak-anak kita dengan banyak harapan. Agar bisa menjaga batasan, agar bisa melihat sebuah pernikahan itu tentang tanggung jawab, bukan sekedar nafsu dan kewajiban manusia dewasa yang sudah mapan. Pada akhirnya laki-laki dan perempuan bisa mendapat hak yang setara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun