Mohon tunggu...
Rahma Roshadi
Rahma Roshadi Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer Bahagia

Penikmat tulisan dan wangi buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kahyuna

21 Maret 2019   15:30 Diperbarui: 21 Maret 2019   15:40 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ucapanmu telah menjadi doa yang didengar oleh Sang Kuasa karena kesucianmu selama ini. Ketika terbersit dalam benakmu tentang kematian Maung, maka terjadilah!! Kau Patih...Kau tidak seharusnya mengatakan hal itu! Kau membawa keburukan bagi kerajaan ini!! Kau lah penyebab ini semua patih!!"

Nafas sang raja tersengal-sengal karena meluapkan nafsu amarahnya pada Patih Pandya yang sejak tadi hanya tertunduk. Lisannya kelu. Badannya melemah tak mampu memberikan perlawanan apapun pada tuannya. Sementara Raja segera memerintahkan Panglima untuk membawa Patih Pandya ke Hutan Wanadra. Kematian Maung, harimau hitam kesayangannya, seketika  menghilangkan sifat welas asih yang selama ini tertanam di hatinya.

"Yang Mulia, izinkan hamba menyampaikan satu hal. Apa yang hamba sampaikan tentang tragedi di negeri ini, akan segera terjadi dan terus berulang, jika Yang Mulia senantiasa mengambil keputusan dibawah kendali kekuasaan dan hawa nafsu. Tidak akan ada lagi kebijaksanaan dan keadilan bagi rakyat banyak."

"Cukup!! Panglima, bawa Patih Pandya ke Hutan Wanadra, dan masukkan dia ke Danau Kahyuna!!"

Panglima menuruti perintah Raja Suman. Patih Pandya, dengan kedua tangan terikat dan mata tertutup, dikawal oleh beberapa prajurit yang dipimpin langsung oleh Panglima, dibawa masuk ke Hutan Wanadra, dan setelah beberapa lama memasuki rimbunnya pepohonan, melangkahi akar-akar tua yang bergelantungan, serangga yang merayap, dan dedaunan yang merambat, mereka tiba di tepi Danau Kahyuna, akhir hidup Patih Pandya di negeri ini, sebagai orang yang selalu bijak memberikan wejangan kepada raja. 

Panglima menyeret Patih Pandya hingga ke mulut danau, lalu menendangnya hingga patih tersungkur tercebur ke dalam danau. Tangannya yang terikat tak memungkinkan patih untuk menyelamatkan diri. Dia telah terkubur di dasar danau hitam, karena kemauan Raja Suman. Setelah memastikan tidak ada lagi tanda-tanda perlawanan dari Patih Pandya kepada pekatnya Danau Kahyuna, Panglima dan para prajurit meninggalkan Hutan Wanadra. Tugasnya sudah selesai. Mereka benar-benar melaksanakan tugas yang diperintahkan Raja Suman, tanpa sedikitpun hak untuk mempertanyakan benar dan salahnya tugas yang mereka kerjakan.

Sementara itu, di pendopo kerajaan, Raja termenung menyendiri. Matanya memandang nanar ke atas langit. Hatinya sungguh sedang menangis, namun tak tampak setetes pun air mata jatuh membasahi cekung pipinya. Raja telah kehilangan maung, yang selama ini setia mendampingi tuannya. Dan sekaligus, Patih Pandya yang harus menanggung hukuman karena kekeliruannya menyampaikan terawangan terhadap nasib negeri ini.

"Yang Mulia." Suara lembut terdengar menyelinap dari arah belakang. Pendeta Arcarya, seorang pendidik di kerajaan ini, memberanikan diri mengganggu kesendirian raja siang itu.

"Kau Arcarya, berani sekali." Raja Suman hampir kembali meradang hingga Pendeta Arcarya terlebih dulu memberikan penjelasan atas maksud kedatangannya.

"Ampuni kelancangan hamba, Tuan. Hamba hanya ingin menyampaikan sedikit perasaan hamba yang terpendam, Yang Mulia."

"Apa itu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun