Mohon tunggu...
Rahma Roshadi
Rahma Roshadi Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer Bahagia

Penikmat tulisan dan wangi buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kahyuna

21 Maret 2019   15:30 Diperbarui: 21 Maret 2019   15:40 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Alkisah di sebuah negeri yang dipimpin oleh seorang raja bernama Suman. Raja ini memiliki perawakan kurus kering. Bukan lantaran negeri ini tidak sejahtera. Tetapi karena negeri ini demikian hati-hati dalam membagi-bagikan hadiah dalam bentuk barang atau makanan kepada raja dan para punggawanya. 

Tak pernah sedikit pun terjadi kericuhan di negeri ini, yang hasil buminya terhampar sangat luas bak permadani hijau tak bertuan. Siapapun boleh menikmatinya tanpa khawatir lahannya akan tercuri, karena semua rakyat benar-benar menyadari bagian-bagiannya sekecil apapun yang mereka punya. Tak pernah ada suap-menyuap untuk mengambil hasil bumi milik rakyat lain. Semua punya, semua bisa merasa, semua sejahtera.

Namun demikian, Raja Suman tetap mengagungkan warisan dari para leluhur untuk menjunjung tinggi keadilan di atas segalanya. Dan untuk mengantisipasinya, negeri ini membuat sebuah danau, yang terletak di tengah Hutan Wanadra. Danau Kahyuna. Danau yang penampangnya sangat kecil. Permukaan airnya berwarna hitam pekat. Nama Kahyuna yang berarti kemauan, diberikan Raja karena danau itu akan digunakan untuk menenggelamkan semua kehendak dan hawa nafsu yang bisa mengalahkan akal sehat dan hati nurani. Semua orang menjauhinya. Termasuk raja dan para patihnya. Tak satupun yang ingin mendekati danau tersebut karena adanya perintah yang disampaikan langsung oleh patih :

 

Titah Sang Raja

Barang siapa / yang berani dengan sengaja / makan makanan yang bukan miliknya / menerima makanan yang tidak seharusnya / juga upeti-upeti yang tidak sepantasnya / serta melakukan perilaku buruk apapun yang menimbulkan keresahan dan kesedihan rakyat yang lain /  maka / Raja akan menenggelamkannya dalam Danau Kahyuna di tengah Hutan Wanadra//

Titah itu disampaikan oleh Patih Pandya. Seorang patih kepercayaan raja karena tabiatnya yang cerdas, suci, dan bijaksana. Patih Pandya pun sangat dikenal oleh banyak rakyat dengan berbagai lapisan, karena kearifannya, dan keramahannya membaur dengan hampir seluruh rakyat. Tidak sedikit hal-hal yang mengganggu pikiran raja, diselesaikan dengan bijak oleh Patih Pandya. Kecerdasannya selalu memberikan saran-saran yang baik pada raja.

Raja Suman, memiliki binatang peliharaan seekor harimau hitam. Si Maung. Kulitnya mengilap. Sorot matanya tajam. Serupa dengan sorot ketegasan dari mata raja. Rambut di badannya demikian halus, karena terawat sempurna. Badan tegapnya, selalu mendampingi langkah raja agar perawakan kurusnya tetap bisa terlihat gagah karena gagahnya maung disampingnya. Hingga suatu saat, maung terlihat berkelakuan sangat aneh. 

Dia meninggalkan keratan-keratan daging jatah makannya begitu saja tanpa sedikit pun di endusnya. Di sepanjang padepokan pun, Si Maung hanya berjalan berputar-putar seprti tanpa tujuan. Siulan Sang Raja yang biasanya segera ia sambut dengan auman yang lantang, kini tidak lagi. Dia terllihat ingin menjauhi raja. Beberapa kali Maung terlihat membenturkan kepalanya di pagar atau tembok kerajaan. Raja mulai resah dengan sikap Maung yang tidak segagah biasanya. Raja memanggil Patih Pandya untuk turut memikirkan kegundahannya.

"Patih, Aku benar-benar mengkhawatirkan Si Maung dengan perilakunya belakangan ini. Menurut pengetahuanmu, apa gerangan yang sedang terjadi. Aku khawatir, sikap Maung adalah pertanda akan terjadi sesuatu di negeri ini."

"Ampun Tuanku. Sesungguhnya, penerawangan Tuan Raja benar adanya. Akan terjadi sebuah tragedi buruk dan akan sangat berdampak pada kelanggengan kesejahteraan negeri ini."

"Apa kira-kira, wahai Patih?"

"Tuanku, Hamba tidak mengetahuinya secara pasti tragedi apakah yang dikabarkan oleh perilaku Maung akhir-akhir ini. Hamba hanya melihat, bahwasanya Si Maung sudah mulai mendekati ajalnya, Tuan. Dia sedang kesakitan."

"Apa katamu?!!" Raja berdiri dari singgasananya mendengar jawaban Patih Pandya. "Maung demikian sehat dan terjaga kebugarannya. Dia satu-satunya binatang di negeri ini yang terlihat demikian gagah karena makanan yang melimpah yang selalu disediakan. Berani betul kau mengatakan kalau Maung akan mati!" Raja benar-benar meradang, "Pergi kau, Patih!!"

"Ampun Tuanku. Maafkan kelancangan Hamb. Hamba pamit." Patih Pandya dengan penuh perasaan bersalah karena telah menyinggung perasaan Raja Suman, kembali ke padepokannya dengan bermuram durja. Hatinya benar-benar gundah. Perasaan berkecamuk antara tragedi buruk yang akan terjadi, ditambah lagi dengan amarah raja karena ia berani menyampaikan ramalan tentang negeri ini. Semalaman ia hanya berdiam diri dan banyak memanjatkan doa kepada Sang Kuasa,memohon agar rakyat di negeri ini diberikan kekuatan untuk menghadapi tragedi yang akan terjadi. Dan semoga Sang Kuasa masih menyisakan hal kebaikan di negeri ini, sesedikit apapun adanya.

Esok paginya. Sang Surya bersinar demikian cerah. Namun tidak dengan raja. Wajahnya merah padam. Hatinya benar-benar tertutup awan amarah yang telah menyapu akal sehatnya. Sepagi raja terbangun, ia menemukan Maung tergeletak tak bernyawa di sisi tempat tidurnya. Emosinya tertahan, dan benar-benar ingin ia tumpahkan pada seorang, yang dalam akalnya, telah membunuh Maung.

"Panggil Patih Pandya!!" Teriakan sang Raja Suman menghentakkan seluruh isi kerajaan.

Patih Pandya dengan tergopoh-gopoh menghadap Raja. Sekujur badannya sudah terhujani dengan peluh karena lelah berlari bercampur perasaan yang kalut. Patih berlutut di hadapan Raja Suman. Badannya membungkuk. Sorot matanya sayu, tak mampu menandingi tajamnya sinar mata Sang Raja yang tengah dirundung duka karena kematian Maung yang benar-benar membuatnya tersulut amarah.

"Patih, kau tak perlu memberikan alasan apapun padaku."

"Ampun Yang Mulia. Hamba tidak mengerti apa maksud Yang Mulia."

"Kemarin, kau bilang sikap Maung adalah pertanda buruk bagi kerajaan. Sekarang, aku baru menyadari, bahwa sebenarnya kau lah yang membawa keburukan bagi kerajaan!!"

"Ampun Tuanku...hamba,...hamba mohon penjelasan Yang Mulia Raja."

"Ucapanmu telah menjadi doa yang didengar oleh Sang Kuasa karena kesucianmu selama ini. Ketika terbersit dalam benakmu tentang kematian Maung, maka terjadilah!! Kau Patih...Kau tidak seharusnya mengatakan hal itu! Kau membawa keburukan bagi kerajaan ini!! Kau lah penyebab ini semua patih!!"

Nafas sang raja tersengal-sengal karena meluapkan nafsu amarahnya pada Patih Pandya yang sejak tadi hanya tertunduk. Lisannya kelu. Badannya melemah tak mampu memberikan perlawanan apapun pada tuannya. Sementara Raja segera memerintahkan Panglima untuk membawa Patih Pandya ke Hutan Wanadra. Kematian Maung, harimau hitam kesayangannya, seketika  menghilangkan sifat welas asih yang selama ini tertanam di hatinya.

"Yang Mulia, izinkan hamba menyampaikan satu hal. Apa yang hamba sampaikan tentang tragedi di negeri ini, akan segera terjadi dan terus berulang, jika Yang Mulia senantiasa mengambil keputusan dibawah kendali kekuasaan dan hawa nafsu. Tidak akan ada lagi kebijaksanaan dan keadilan bagi rakyat banyak."

"Cukup!! Panglima, bawa Patih Pandya ke Hutan Wanadra, dan masukkan dia ke Danau Kahyuna!!"

Panglima menuruti perintah Raja Suman. Patih Pandya, dengan kedua tangan terikat dan mata tertutup, dikawal oleh beberapa prajurit yang dipimpin langsung oleh Panglima, dibawa masuk ke Hutan Wanadra, dan setelah beberapa lama memasuki rimbunnya pepohonan, melangkahi akar-akar tua yang bergelantungan, serangga yang merayap, dan dedaunan yang merambat, mereka tiba di tepi Danau Kahyuna, akhir hidup Patih Pandya di negeri ini, sebagai orang yang selalu bijak memberikan wejangan kepada raja. 

Panglima menyeret Patih Pandya hingga ke mulut danau, lalu menendangnya hingga patih tersungkur tercebur ke dalam danau. Tangannya yang terikat tak memungkinkan patih untuk menyelamatkan diri. Dia telah terkubur di dasar danau hitam, karena kemauan Raja Suman. Setelah memastikan tidak ada lagi tanda-tanda perlawanan dari Patih Pandya kepada pekatnya Danau Kahyuna, Panglima dan para prajurit meninggalkan Hutan Wanadra. Tugasnya sudah selesai. Mereka benar-benar melaksanakan tugas yang diperintahkan Raja Suman, tanpa sedikitpun hak untuk mempertanyakan benar dan salahnya tugas yang mereka kerjakan.

Sementara itu, di pendopo kerajaan, Raja termenung menyendiri. Matanya memandang nanar ke atas langit. Hatinya sungguh sedang menangis, namun tak tampak setetes pun air mata jatuh membasahi cekung pipinya. Raja telah kehilangan maung, yang selama ini setia mendampingi tuannya. Dan sekaligus, Patih Pandya yang harus menanggung hukuman karena kekeliruannya menyampaikan terawangan terhadap nasib negeri ini.

"Yang Mulia." Suara lembut terdengar menyelinap dari arah belakang. Pendeta Arcarya, seorang pendidik di kerajaan ini, memberanikan diri mengganggu kesendirian raja siang itu.

"Kau Arcarya, berani sekali." Raja Suman hampir kembali meradang hingga Pendeta Arcarya terlebih dulu memberikan penjelasan atas maksud kedatangannya.

"Ampuni kelancangan hamba, Tuan. Hamba hanya ingin menyampaikan sedikit perasaan hamba yang terpendam, Yang Mulia."

"Apa itu?"

"Tuan, sesungguhnya, Hamba juga merasakan kesedihan, seperti yang Tuan rasakan sekarang."

"Aku tidak perlu belas kasihmu, Arcarya."

"Bukan itu, Yang Mulia. Kesedihan hamba ini, bukan semata-mata karena Tuan telah kehilangan Maung, tetapi lebih kepada kehilangan hamba pada Patih Pandya."

"Kau...Kau juga bersekongkol dengan Pandya untuk mendoakan keburukan negeri ini, Arcarya?!"

"Bukan begitu maksud hamba, Tuanku, kemarin, hamba tidak sengaja mendengar pembicaraan Yang Mulia dengan Patih Pandya tentang keanehan perilaku Maung. Hamba, atas dasar keilmuan yang hamba miliki, membenarkan perkataan Patih Pandya bahwa Maung sebenarnya telah mendekati ajalnya. Patih telah mengatakan yang sebenarnya, Yang Mulia."

Raja Suman terdiam mendengar perkataan Pendeta Arcarya.

"Apa yang terlihat oleh Tuanku, adalah perilaku alami dari binatang sejenis Si Maung ketika mendekati ajalnya. Itulah sebabnya, keputusan Tuan untuk menghukum patih ke Danau Kahyuna, membuat hamba merasa terguncang. Ini adalah keputusan yang keliru, karena Yang Mulia baru saja menjatuhkan hukuman kepada punggawa kerajaan yang tidak bersalah."

Raja Suman kali ini benar-benar terbelalak mendengar penjelasan Pendeta Arcarya. Raja hanya bisa memandangi Sang Guru yang dikenal tinggi derajat keilmuannya. Permohonan pamit Pendeta Arcarya pun tak terdengar oleh raja yang semakin merasa lemah. Dia tidak saja kehilangan Si Maung dan Patih Pandya, tapi kini ia merasa telah kehilangan kewibawaannya sebagai seorang raja. Raja yang seharusnya bijak dalam menerapkan keputusan yang adil dan penuh welas asih, terselimuti oleh amarahnya hanya karena kesedihanya kehilangan Si Maung, binatang yang ia sayangi.

Kabar tentang kekeliruan raja menghukum Patih Pandya terdengar hingga ke seluruh perlosok negeri. Seluruh rakyat benar-benar terkejut dengan pemerintahan Raja Suman yang telah salah menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak bersalah. Hampir seluruh rakyat tersulut amarahnya. Mereka tidak lagi mau mempercayai rajanya. Rakyat merasa tertipu oleh kedok pemerintahan Raja Suman yang selalu bertutur baik di hadapan rakyat banyak. Mereka lalu membangkang setiap titah yang disampaikan oleh utusan kerajaan. 

Kemarahan rakyat menyulut keserakahan yang merajalela. Rakyat kini hanya berharap hidup mereka dapat terus berlangsung dengan memiliki banyak persediaan makanan, tanpa peduli bagaimana cara mereka mendapatkannya. Tidak ada lagi yang memperdulikan keadilan, kebersamaan dan kesejahteraan bagi setiap insan. Semua berebut. Semua mencuri. Semua mengambil paksa hak orang lain yang lebih lemah.

Kekacauan ini juga menjadi beban bagi hakim kerajaan yang hampir setiap saat dihadapkan pada pengaduan pencurian, perampokan, perebutan lahan, hingga perampasan hak orang lain. Hakim kerajaan, namun demikian, tidak pula bisa berbuat banyak, karena sedikitnya keterangan yang ia dengar dari rakyat. Sang hakim pun akhirnya hanya sebatas pada melaksanakan tugasnya sebagai seorang hakim kerajaan. Dia banyak menghukum orang. Dia banyak menyeret rakyat untuk masuk ke Danau Kahyuna, satu-satunya tempat hukuman yang dimiliki oleh kerajaan ditengah hutan wanadra. 

Danau Kahyuna, yang sejatinya digunakan untuk mengubur dalam-dalam hawa nafsu, telah berganti maknanya menjadi sebuah tempat hukuman, bagi mereka yang harus mengalah karena orang-orang yang semakin haus dengan kehendak pribadi dan terkalahkan oleh hawa nafsu.

Kekacauan ini, terus berlanjut. Sang hakim kerajaan terus saja menjerat rakyat dan menjatuhkan hukuman tanpa pernah bisa membuktikan benar dan salahnya. Sampai sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun