Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Manusia, Teknologi, dan Nusantara

23 Maret 2021   00:06 Diperbarui: 23 Maret 2021   00:34 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Pixabay/Anemone123

Melihat laju peradaban umat manusia yang sedemikian dahsyat, maka sudah sepatutnya kita menyadari pula bahwa betapa canggihnya makhluk ciptaan tuhan yang maha kuasa ini. Hal-hal silih berganti dan nampaknya akan terus banyak momen terjadi, pun sulit diprediksi hendak bagaimanakah kelanjutan hiruk pikuk manusia menjalani kehidupan abad keblinger macam sekarang serta sudah barang tentu menyimpan tabir kelam yang sulit diungkap dan disingkap.

Sampai atau sekurang-kurangnya selama manusia menjadi raja di muka bumi, tak pernah terlepaskan hakikatnya dari fenomena-fenomena yang terkadang bagi manusia lain terbersit pikiran "kok gini amat sih" lengkap dengan kerut di dahi yang makin merepresentasikan antara aneh, heran, dan perasaan yang tak karuan lainnnya. Apalagi di abad yang serba maju seperti sekarang, setiap hal makin banyak dan bahkan lebih cepat berlalu lalang dalam laku hidup sejarah kemanusiaan kita.

Ke-Maha-an dari teknologi tak bisa lagi dikesampingkan menjadi tonggak perbedaan paling menohok ihwal manusia zaman ini dengan manusia berabad-abad yang lalu, bahkan sebetulnya dengan manusia pada hari-hari kemarin. Saat ini, percaya atau tidak faktanya manusia semakin sulit diprediksi, tentu kondisi yang demikian itu didorong oleh sokongan teknologi yang kini seolah telah menjadi organ vital dalam jiwa raga manusia.

Hakikat teknologi sebagai sesuatu hal yang dapat cepat berubah tak pelak perlahan-lahan mulai memberikan dampak yang senyata-nyatanya pada pola manusia yang rupanya kini menyerupai kedinamisan dari teknologi. Manusia menjadi yang amat dan bahkan sangat dinamis, dalam sebuah hitungan hari seseorang dapat memiliki prinsip A dan selang beberapa hari kemudian sudah dapat meloncat dengan memegang teguh prinsip C.

Adapun saat ini sebetulnya dalam konteks kepemilikan prinsip bahkan tak hanya dapat terjadi dan berubah dalam hitungan hari, malah setiap menit dan detik seluruh tatanan sistem kehidupan manusia secara masif mengalami perubahan. Kondisi demikian memungkinkan kiranya jika kita kemudian berpendapat bahwa apa yang terjadi dalam proses sosial antar manusia di masyarakat menjadi lebih sulit untuk diprediksi, bukan hanya soal pola kehidupan yang sifatnya formalistis, namun juga lebih jauh hal itu menyasar pada unsur yang sangat esensial yaitu perubahan pola pikir dan cara penalaran yang dianggap oleh banyak orang sebagai "style kekinian".

Sejatinya dalam menyikapi fenomena yang sebelumnya mungkin belum terjadi dalam sejarah peradaban manusia, terlebih jika ditinjau dari kecepatan laju perubahannya, terlihat secara jelas bahwa setiap manusia, baik orang biasa sampai sekelas professor pun agaknya masih menerka-nerka perihal bagaimana dan seberapa besar kesiapan umat manusia dalam menerima mandat besar bernama modernisasi ini.

Atas belum jelasnya kerangka dasar tentang bagaimana selayaknya menyikapi setiap fenomena sosial, terlebih kurangnya kemauan untuk secara arif dan bijaksana hidup dalam jaring interaksi sosial yang tak karuan makin memberikan ketidakjelasan dan keruwetan kehidupan di alam yang disebut Ronggowarsito sebagai "Zaman Edan".

Memang diperlukan sebuah sikap jujur untuk kita tidak bisa membohongi diri bahwa apa yang dikatakan oleh Ronggowarsito telah secara faktual terjadi. Misalnya pada hari-hari belakang ini, jagat media sosial lantas dibuat riuh dengan ramainya pemberitaan tentang betapa garangnya manusia setengah dewa yang belakangan kerap disebut "netizen" menampakan diri di permukaan bumi pertiwi seraya memamerkan segenap kedigdayaannya.

 Sosok-sosok manusia "super" tanah air bermunculan bak buih di lautan yang tak terhitung jumlahnya. Mereka hadir dengan membawa pikiran dan gagasan yang beranekaragam, menampilkan eksistensi sebagai ciri manusia modern, dan menunjukan jatidiri sebagai "aku" yang terkadang memandang dan menyikapi sesuatu dengan "semauku".

Maka bukan sebuah keanehan jika dengan begitu manusia-manusia super tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat dan negara. Kekuatan baru tersebut jika dilihat secara sepintas seyogyanya mampu memberikan suntikan dan energi positif bagi negeri yang kaya ini dapat kembali menemukan jatidirinya kembali. Hanya saja, tak sedikit dari optimisme tersebut meleset ke arah yang sebaliknya.

Kehalusan akal budi yang seperti dicita-citakan Dewantara seolah tak mampu direpresentasikan oleh "aku-aku" yang menjamur dimana-mana itu. Kebijaksanaan rasa-rasanya samar untuk terlihat dalam balutan kegelamoran dan "style kekinian" yang justru sekarang banyak ditampilkan. Dunia melihat, diri kita sendiri pun agaknya menyadari bahwa memang nilai mulia bernama kebijaksanaan hampir atau mulai jarang kita temukan dalam penelusuran manusia nusantara yang modern itu.

Entah bagaimana bisa negeri yang kata orang dulu disebut berisikan manusia ramah tamah, baik akhlaknya, sopan bicaranya pada beberapa tahun belakangan justru seperti menolak klaim dan sanjungan yang diberikan tadi. Amat memilukan melihat fenomena "keberingasan" yang sayangnya telah kadung dianggap kebiasaan ini menjadi hal yang seolah lumrah dan keharusan untuk terus dilakukan. Mereka menjatuhkan lawan-lawannya di kolom komentar dengan  penuh gagah berani, lewat emoticon yang penuh amarah, dan dengan reply yang teramat menohok dan keras, serta tombol dislike yang dilandasi tak jarang dilandasi iri dengki.

Identitas dan jatidiri kemanusiaan manusia penghuni nusantara agaknya kini mencapai meja hijau pertaruhan yang penting untuk segera dapat disikapi dengan pikiran dan hati yang jernih. Pernyataan tersebut perlu direnungi bersama, perlu juga kiranya pertanyaan tentang apa yang telah dilakukan selama ini dengan bersikap yang cenderung mengedepankan arogansi itu dapat dibenarkan.

Disinilah konsep bener lan pener perlu menjadi perhatian untuk lantas direfleksi. Senada dengan itu, konsep halallan thayibban pun sedikitnya mengarah pada makna yang sama, yakni bahwa meskipun apa yang kita lakukan itu benar baik itu secara hukum atau teoretis, tetapi pertimbangan lain pun perlu diperhatikan agar apa yang menjadi kebenaran itu tidak lantas rusak karena cara pengaplikasian kebenarannya justru kurang atau bahkan tidak menunjangnya.

Benar bahwa di saat-saat krisis dan kemajuan berada pada garis yang sama dewasa ini, kita memerlukan penyikapan yang lebih ekstra agar mampu melangkah melalui jalan kebijaksanaan yang pada hakikatnya tidak mudah. Akan tetapi, mau sampai kapan kehidupan kita terus dipenuhi oleh perpecahan, ketidakharmonisan, dan saling serang? Menjemukan tentunya, dan terlebih jika dibiarkan hal tersebut akan terus merongrong unsur esensial kemanusiaan kita yaitu akal yang jernih dan hati nurani.

Dua hal esensial itulah yang perlu secara sungguh-sungguh diperjuangkan, khususnya manusia negeri yang konon ramah tamah dan cerdas ini. Namun upaya mencapai cita-cita luhur ini memang tak semudah yang terkira, perlu sebuah upaya extraodinary demi menjaga marwah kemanusiaan kita yang teramat mahal harganya.

 Pada akhirnya, seperti yang dikatakan Naisbitt bahwa kemajuan peradaban yang khususnya didominasi oleh pesatnya perkembangan teknologi perlu juga diimbangi oleh kehalusan budi serta nalar kritis agar kesetimbangan antara modernitas dan humanitas itu sedikitnya dapat kita cicipi buah manisnya. Manusia nusantara pun memiliki peluang yang sangat besar untuk ikut menjadi pelopor dalam membangun tatanan dunia yang lebih baik. Kini pertanyaannya, maukah kita mengevaluasi diri, menginsyafi setiap kesalahan, dan secara bijaksana dengan jiwa ksatria mengaku bersalah dan lantas bersama-sama kita memperbaiki diri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun