Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Keranuman

8 April 2020   16:22 Diperbarui: 8 April 2020   16:28 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Josch13

Mengakar merah mekar merekah merajak. Mereka merangu merdu. Memancarkan mercusuar merdeka. Susunan anatomi elok, lentik, rupawan. Tebarkan harmoni puaskan indra. Cahaya tembus kornea, sambut retina, bahagiakannya. Redefinisi struktur kemahaan buyarkan doktrin pasif, stagnasi, standarisasi.

Ihwal dikara tak baik dikira sama. Ihwal permai tak afdhol ditafsir rata. Semesta kedigdayaan punya tipikal kekhasan. Unggul di satu sudut, tinggi nilai di satu pihak, tapi buruk di satu ruang, cacat di satu pojok. Koridor kemutlakan, absolutisme nilai, patut disangsiknan. Nodai hakikat keberagaman, lukai martabat multidimensional.

Rezim monisme nafikan kesemarakan laku hidup. Kacamata kuda, sempit, dangkal menerawang kompleksitas hidup. Terkekang batas nalar, terpasung tembok moral, terkerangkeng rantai kefasikan. Padahal keranuman jadi realitas kemanusiaan, segala macam disparitas jadi kenyataan peradaban. Lantas mengapa masih bekutat dalam kubangan fanatisme?

Border penghalang mesti diguncang dan dikoyak. Runtuhkan dengan api semangat. Progresif menatap cakrawala masa depan, antisipatif menghalau hujan meteor cobaan. Dan, keindahan terdapat pada keranuman. Merawat, membasahinya dengan kebijaksanaan ciptakan kualitas keberadaban yang luhur. Memberi warna, menyemai makna.   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun