Takdir hampa benar adanya. Hilang jadi jalan akhir langkah kehidupan. Ditemani kekosongan lagi kegelapan. Keriuhan hanya bahagia sementara, berbeda dengan kesenyapan, ia kekal, dan menanti orang mendatanginya. Semua itu fakta, dan akan terjadi jua pada saatnya. Setidaknya hal ini akan dirasai setiap insan dalam tingkatan yang lebih rendah.
Satu kali misalnya berhadapan pada suka cita. Bersenang-senang riang gembira. Menjalani hari-hari penuh cerita. Tanpa pikiran duka ataupun lara. Roda penghidupan seolah bergerak tanpa satupun hambatan. Mata berhadapan dengan keindahan, sedangkan rasa bermesraan dengan ketentraman. Betapa indah berada pada momen emas semacam itu.
Sampai kemudian semuanya sirna dihempas sang takdir. Lewat kekuasaannya, nuansa sentosa tercerabut hingga keakar-akarnya. Tanpa meninggalkan bekas fisik yang mampu terlihat bola mata. Semua itu hangus, bak daun kering yang dilalap panasnya bara api. Setiap kehilangan mutlak akan membawa sedikitnya satu kepedihan. Sakit akibat kehilangan itu sendiri, atau sakit sebab harus menanggung memoar keindahan yang tak lagi mampu diraih.
Bahaya manakala takdir menghujamkan akal pada jurang kesengsaraan. Ia menggerogoti setiap celah rasa suka hingga tiada kesempatan lagi untuknya muncul. Sekaligus jua ia akan meracuni pikiran lewat rupa-rupa pola penalaran yang sama sekali buruk bentuknya.
Lagi-lagi noda hitam menjadi takdir yang mau tidak mau harus dirasai setiap insan. Memang benar, setelah putih selalu ada hitam atau sebaliknya. Setelah bahagia akan ada derita, setelah pertemuan ada perpisahan, setelah kehidupan ada kematian. Melalui garis takdir yang banyak menyimpan kepiluan perlu disikapi betul dengan seksama, dengan pikiran jernih, dengan akhlak terpuji.