Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Keluputan

16 Februari 2019   20:10 Diperbarui: 16 Februari 2019   20:22 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay.com/Free-Photos

Berkaca pada muramnya realita, tak ayal membuat optimisme menyonsong hari esok menjadi lesu. Terkikis kengerian, terbakar kepasrahan. Walau berani ucap indahnya masa depan, tetap saja nada getir dari yang keluar dari mulutku tak bisa dinafikan adanya. Perkara keyakinan berubah keraguan, tertimbun longsoran rasa putus asa.

Suasana pagi hari yang mestinya sejuk kini seolah kehilangan kesegarannya. Tak begitu sejuk, kurang adem. Nuansa itu tersita oleh gangguan pikiran. Menghujam saat mencoba terlelap, mendobrak ketika hendak berelaksasi. Padahal aku sudah berusaha menangkalnya lewat alunan ritmis, melodi syahdu, dan lantunan penuh kedamaian. Sia - sia.

Beberapa alternatif penawar terbukti gagal memberi ketenangan. Satu per satu menemui kegagalannya. Keharuman setangkai mawar menyerah menolong, sepotong kue enggan memberi kenikmatan, bahkan seuntai irama merdu tak jua mampu beri ketentraman. Seolah semuanya lenyap seketika, tercerabut dari kepastian hidup yang kumiliki.

Kehilangan ialah hal yang paling menyakitkan. Dipaksa ataupun sukarela, kehilangan tetap saja akan meninggalkan sebuah goresan dalam dada. Barulah setelahnya kita bisa menduga, apakah kehilangannya itu kelak menjadi bahagia atau menjadi luka. Namun apa jadinya jika yang hilang itu adalah rasa untuk bahagia ? Begitu menyiksa.

Hampir mati rasa seluruh raga, mereka merasakan satu kerinduan yang sama. Kerinduan yang fundamental. Rindu bahagia. Sudah lama mata menjadi kabur, tertutup asap tebal dipelupuk mata, menghalangi sorot cahaya yang mencoba menembus kornea, berusaha mencapai retina. Namun nahas, usahanya tetap saja terbantahkan.

Hidung pun tak kalah rindunya dengan mata, ia sudah puasa merasa macam - macam aroma. Seperti lubangnya tersumbat berbagai rupa adonan bangunan, kerikil, pasir, dan tak lupa dicampur semen. Kuat dan kokoh. Maka tak heran, ia menjadi steril dari bau, baik yang busuk maupun yang harum. Sensitivitasnya punah.

Lain cerita dengan lidah, ia lebih dahulu kehilangan kemampuannya. Cita rasa telah lama tak lagi menghampirinya. Setiap santapan dam hidangan yang melaluinya, lewat begitu saja tanpa meninggalkan kesan dan pesan. Mereka ibarat seorang pejalan kaki yang dengan kesombongannya melenggang tanpa berkata permisi. Hambar.

Rasa bahagia yang luput dari raga tadi jelas menyengsarakan. Merusak tatanan kenyamanan. Bahkan saat ini, hal lain juga tengah coba dilucuti dari diriku. Ya, kebahagiaan dalam hati tengah berusaha kupertahankan sekuat tenaga. Erat peganganku berpaku pada sebuah pohon besar, bahkan sengaja aku melilitkan tubuh ini padanya agar tetap bersatu. Dan bila memang pun harus terjungkir pada akhirnya, namun setidaknya aku melekat bersamanya.

Semua itu kulakukan demi menjaga rasa kebahagiaan yang hakiki, bahkan lebih esensial meskipun raga musnah dan hancur lebur. Kugadaikan semuanya demi memperjuangkan sebuah rasa yang filosofis. Biarpun mati tak mengapa, asal tetap bersamanya, hati yang mampu merasa. Selamanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun