Penyusun :
Aulia Rahman Fauqi
Yosinta Firnanda
Novi Fitriani
Niki Kosasih
Sifa Yulia Fauziah
Mahasiswa PGSD Universitas Pelita Bangsa
Cerita Hangat dari Sebuah Kelas di SDN Wangun Harja 03
Pagi itu, di sebuah kelas ceria di SDN Wangun Harja 03, deretan bangku kecil diisi oleh anak-anak kelas 2 yang penuh semangat. Hari itu bukan hari biasa. Ada suasana berbeda yang membuat mereka lebih antusias dari biasanya. Kami, lima mahasiswa dari PGSD Universitas Pelita Bangsa, hadir untuk berbagi pengalaman belajar dengan pendekatan yang berbeda: belajar nilai kehidupan lewat media pop-up.
Didampingi oleh guru kelas yang sabar dan inspiratif, Ibu Lia Yuliani, S.Pd, kami melaksanakan micro teaching sebagai bagian dari praktik lapangan. Tapi lebih dari sekadar tugas, kegiatan ini menjadi pengalaman menyenangkan dan penuh makna baik bagi kami sebagai calon guru, maupun bagi anak-anak yang menjadi bagian dari cerita hari itu.
Pop-Up: Media yang "Membuka" Pikiran Anak
Kami memilih menggunakan media buku pop-up karena percaya bahwa anak-anak belajar lebih baik saat mereka terlibat secara visual dan emosional. Buku pop-up memiliki daya tarik tersendiri: bentuknya yang bisa "muncul" saat dibuka membuat cerita menjadi lebih hidup.
Dalam buku yang kami bawakan, terdapat kisah tentang anak-anak yang berbeda latar belakang, namun tetap saling menghargai, bermain bersama, dan gotong royong menjaga lingkungan. Lewat cerita itu, kami mengangkat dua nilai penting, yaitu toleransi dan kepedulian terhadap lingkungan.
Begitu buku kami buka dan tokoh-tokoh lucu dari kertas muncul dari halaman, wajah anak-anak langsung berbinar. "Waaah, lucu banget!" seru mereka. Anak-anak langsung fokus, seolah dibawa masuk ke dunia cerita. Mereka tertawa, bertanya, bahkan menebak-nebak kelanjutan cerita dengan semangat. Dari sinilah, kami mulai menyelipkan nilai-nilai moral secara halus dan menyenangkan.
Toleransi dan Lingkungan: Nilai yang Tak Terpisahkan
Kenapa kami memilih topik toleransi dan peduli lingkungan? Karena dua nilai ini sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari anak-anak, baik di rumah maupun di sekolah.
Toleransi mengajarkan mereka untuk bisa hidup berdampingan tanpa membeda-bedakan. Bahwa teman dari suku berbeda, agama berbeda, atau memiliki kebiasaan yang tak sama tetap bisa menjadi sahabat. Sementara itu, peduli lingkungan mengajak mereka untuk sadar bahwa menjaga kebersihan dan merawat bumi adalah tanggung jawab bersama.
Dengan cerita sederhana namun dekat dengan kehidupan mereka, anak-anak memahami bahwa perbedaan itu bukan sesuatu yang harus dijauhi, dan bahwa tindakan kecil seperti membuang sampah pada tempatnya bisa berdampak besar.
Diskusi Santai, Tapi Bermakna
Setelah sesi bercerita, kami tidak berhenti sampai di sana. Kami membuka ruang diskusi ringan, yang justru jadi momen paling menyenangkan dan penuh kejutan. Kami bertanya:
"Kamu pernah punya teman yang beda agama atau beda suku?"
"Apa yang kamu lakukan kalau lihat sampah di taman sekolah?"
"Kalau ada teman yang pendiam, apa kamu tetap mau bermain dengannya?"
Tak disangka, tangan-tangan mungil langsung terangkat. Ada yang cerita kalau temannya dari suku berbeda tapi sering tukeran bekal. Ada yang dengan bangga bilang suka bantu bu guru bersih-bersih kelas. Bahkan ada yang menyadari bahwa temannya yang jarang diajak main sebenarnya baik hati dan suka berbagi pensil.
Melalui obrolan sederhana itu, kami bisa melihat betapa dalam sebenarnya pemahaman anak-anak soal kehidupan. Hanya perlu pendekatan yang menyenangkan untuk membangkitkan empati dan kesadaran mereka.
Di dampingi Guru Hebat, Belajar Jadi Lebih Bermakna
Kami merasa sangat beruntung bisa menjalankan micro teaching ini bersama Ibu Lia Yuliani, S.Pd, guru kelas yang tidak hanya memberi ruang kepada kami untuk berkreativitas, tetapi juga mendampingi dengan penuh perhatian dan semangat. Beliau banyak membantu kami dalam membangun komunikasi dengan siswa, menjaga dinamika kelas tetap kondusif, dan memberi saran praktis yang sangat berguna.
Dari beliau, kami belajar bahwa guru sejati bukan hanya menyampaikan pelajaran, tapi juga membimbing dengan hati. Dalam setiap interaksi, ada nilai kesabaran, kasih sayang, dan empati yang begitu kuat. Kehangatan beliau juga membuat kami merasa percaya diri saat menyampaikan materi, meskipun ini adalah pengalaman mengajar kami yang pertama di luar kampus.
Refleksi: Belajar dari Anak-Anak
Kegiatan micro teaching ini bukan hanya tentang bagaimana kami mengajar, tapi juga tentang bagaimana kami belajar dari anak-anak dan dari prosesnya sendiri.
Kami belajar bahwa siswa kelas 2 bukan sekadar pendengar pasif. Mereka punya banyak ide, punya rasa ingin tahu tinggi, dan bisa diajak berbicara soal nilai-nilai besar seperti perbedaan, tanggung jawab, dan kepedulian sosial, asal dilakukan dengan pendekatan yang tepat.
Kami juga belajar bahwa media sederhana seperti pop-up book bisa menjadi alat luar biasa untuk menanamkan nilai karakter. Tak perlu alat canggih, yang penting adalah kreativitas dan kemauan untuk membuat pembelajaran menjadi bermakna.
Harapan: Menjadi Guru yang Menginspirasi
Kami pulang dari SDN Wangun Harja 03 bukan hanya membawa laporan praktik yang lengkap, tapi juga membawa harapan besar, semoga suatu hari nanti, kami bisa menjadi guru yang bukan hanya mengajar, tapi menginspirasi.
Guru yang mampu membuat siswa merasa nyaman, didengarkan, dan diajak tumbuh menjadi pribadi yang menghargai sesama dan mencintai lingkungannya. Guru yang tak hanya mengisi kepala anak-anak dengan teori, tapi juga mengisi hati mereka dengan kasih sayang, nilai, dan semangat hidup yang positif.
Terima kasih kami ucapkan kepada Bu Lia Yuliani, S.Pd atas bimbingan dan kesempatannya. Juga kepada seluruh siswa kelas 2 SDN Wangun Harja 03 yang telah menjadi bagian dari perjalanan belajar kami yang berharga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI