Mohon tunggu...
Rahmah Athaillah
Rahmah Athaillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Literasi

Al Faqiir ilaa 'Afwi Rabbi Dari seseorang yang tengah belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dia, yang Digugu dan Ditiru

22 September 2021   14:32 Diperbarui: 22 September 2021   14:57 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hawa hangat mulai menyelimuti bumi di pagi yang mulai cerah, sinar matahari menyebar kesegala penjuru dengan segala keberkahan, memberikan sejuta energi kepada seluruh makhluk bumi untuk kembali melakukan aktivitas sehari-harinya. Pepohonan rindang saling mengayun pelan, tertiup angin lembut yang lewat.

            Para khalifah bumi pun tak lelah-lelahnya berlalu hilir mudik, memenuhi jalanan pedesaan yang mulai ramai. Seorang tampak masygul dengan kesibukannya tersendiri. Aku berjalan cepat menyusuri jalan setapak yang akan membawaku ketempat yang ramai dengan angkutan umum, sambil menggendong tas slempangku yang selalu setiaku bawa setiap sekolah.

            Hanya menunggu sebentar, angkutan umum yang kuharapkan dating dan membawaku menuju kesekolahan. Pelipisku mulai dipenuhi dengan bulir-bulir keringat. Cukup melelahkan, namun ini tentu saja menyenangkan.

            "Hai, Luthfi!" sapa Via ramah. Aku hanya tersenyum sembari kembali berjalan menuju kelas.

            Kelas tampak riuh, dengan langkah gontai aku menuju salah satu tempat duduk yang kumaksud. "Hai, Fah..bagaimana kabarmu pagi ini?" tanyaku sembar itersenyum kecil.

            Iamenggelengpelan. "Buruk, aku belum mengerjakan tugas yang diberikan oleh Bu Ima," jawabnya lesu.

            "Lho, kenapa?" tanyaku sedikit antusias, tidak biasanya ia menunjukkan wajah murungnya.

            Seketika, kelas yang keadaan riuh menjadi hening. Aku tak menyadari, bahwa rupanya sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh tepat. Bu Ima memasuki kelas dengan tenang, meskipun di setiap hati kami menyimpan rasa sedikit takut dengan kehadirannya. Maklum, beliau dikenal dengan guru yang tegas dan guru yang paling tua. Jangan harap dapat mengikuti pelajarannya jika belum mengerjakan tugas yang diberikan olehnya dengan sempurna.

            "Baik, anak-anak," ujarnya sesudah memulai salam, beliau mengawali pelajaran dengan menatap tajam murid-muridnya, membuat bulu kuduk kami semakin tak menentu. "Sudah saatnya kalian mencintai budaya membaca serta tulis menulis. Mengapa demikian? Karena ini penting untuk masa depan kalian. Mungkin, kalian belum merasakan hasilnya sekarang, dan apapun alasannya budaya membaca dan tulis menulis sangatlah penting. Dan, seminggu lagi akan diadakan lomba menulis essay yang akan diadakan oleh kementrian pendidikan. Untuk itu, saya akan menunjuk perwakilan dari sekolah ini."

            Kelas hening, semua saling pandang, bahkan sebagian ada yang acuh tak mau mendengarkan.

            "Ada yang tertarik untuk ikut?" tanyanya.Kelas menjadi lebih tegang.

            Kami saling pandang dan mengangkat bahu. Mungkin, hamper setiap siswa berpikir apabila mengikuti lomba yang dimaksud, maka otomatis akan berada dalam bimbingannya. Dan hamper seluruh kelasku tidak mengindahkannya. Ini akan terasa menakutkan.

            "Baik, jika tidak ada yang mau mengajukan diri. Saya yang menunjuk," ujarnya sambil membenahi kerudungnya. "Luthfi, kamu kami utus untuk mengikuti lomba ini, setelah, pelajaran ini saya tunggu di kantor," lanjutnya, sambil menatapku dengan tatapan tajam.

            Aku tersentak, seraya diiringi menunjukkan jari telunjukku kehadapanku, "Saya Bu?" tanyaku tak mengerti.

            Bu Ima menangguk tanpa ragu.Seketika kelas menjadi rame.

            "Cieeee..." soraksemuatemankelasku.Semua rebut meledekku.

            "Ternyata, Luthfi ini anak kesayangan Bu Ima ya.."celetuk seseorang di kelas.

            Pelajaran kembali dilanjutkan, aku masih membenci diriku yang bias terpilih untuk mewakili sekolah ini dengan segala kekurangan yang aku miliki.

            Akhirnya, hari-hariku dipenuhi dengan kesibukan baru, bolak-balik dari perpustakaan hingga kantor guru. Dikemudian hari, aku merasa lebih nyaman dengan Bu Ima, meskipun tegas dan tidak pernah menampakkan candaannya sedikit pun.

            "Kamu ini payah Luthfi," ujar Bu Ima sambil memandang kertas yang telah kukerjakan semalaman suntuk.

            "A..ada yang salah Bu?" tanyaku bingung.

            "Seharusnya, materi ini diperluas lagi. Dan bahkan kamu kurang mendalaminya," jawab Bu Ima. "Begini, sebenarnya saya punya buku yang berhubunagn dengan materi yang tengah kamu kerjakan. Hanya saja, melihat waktu yang begitu mepet, kamu harus kerumah saya."

            Aku terhentak, "Baik, Bu.." jawabku tanpa ragu lagi.

            Keeseokan harinya, di hari libur bagi pelajar, aku mengunjungi rumah Bu Ima setelah izin dengan orang tuaku. Aku meminta Ifah dan Rani untuk menemaniku.

            "Kamu yakin, akan pergi kerumahnya?" Tanya Ifah sedikit ragu, "Satu setengah jam lho, kalau dengan bis umum."

            "Nggak, Kita harus tetap kerumahnya. Beliau itu baik kok, nggak seperti yang kalian bayangkan," jawabku gusar.

            Ifah dan Rani hanya mengangkat bahu, sembari mengikutiku pergi. Butuh sekitar satu jam lebih untuk tiba di rumah Bu Ima menggunakan angkutan umum. Belum cukup, setelah menaiki angkutan umum, kami harus menempuh menggunakan angkot, dan berjalan kaki sejauh setengah kilo untuk menyusuri gang-gang kecil yang tampak kumuh.

            "Kamu yakinkan Luthfi, kalau ini jalan kerumahnya?" Tanya Ifah sedikit ragu.

            Aku mengangguk, meskipun terbesit ragu melewati perkampungan yang sempat tidak bersahabat melihat busana yang kami kenakan. Setelah bertanya dengan beberapa warga, kami menemukan rumah Bu Ima.

            "Assalamu'alaikum Bu," salamku sambil mengetuk pintu.

            Tak beberapa lama, pintu terbuka. Beberapa anak kecil memandang kami bingung. Aku, Ifah dan Rani saling bertatapan bingung. "Uhmm.. Bu Ima nya ada dek?" tanyaku setelah keheningan terjadi diantara kami.

            "Ada, Bu Imanya didalam, masuk saja mbak," jawab salah satu dari anak kecil.

            Aku mengikutinya masuk.Bu ima menyambut kami dengan senang, "Saya kira kalian nyasar," ujarnya menyambut kedatangan kami.

            Kami menggeleng, menyembunyikan rasa kejut kami. "Ndak usah bingung, ya rumah saya memang seperti ini kumuh, jelek. Kalau anak-anak kecil tadi, itu anak yang terlantar yang saya urus. Sementara, ibu-ibu yang kalian temui itu, mereka yang saya beri lapangan pekerjaan supaya tidak menganggur lagi,"

            Aku termenung, tapi, bagimana biaya untuk hidup?,tanyaku dalam hati. "Tapi, anak ibu sedang di rumah? Biaya mereka bagaimana?" tanyaku penasaran.

            Bu Ima menatapku sebentar, "Anak Ibu yang satu minggat, sedang yang satu lagi dikamar, nggak mungkin bisa melakukan aktivitas lagi, dia lumpuh sejak SMP. Saya kan sebenarnya sudah pensiun hanya saja, saya memohon untuk perpanjangan waktu," jawab nya tenang.

            Kami hanya diam membisu, mengikuti langkahnya menyusuri rumahnya yang membuat kami terheran-heran. Di rumahnya terdapat satu ruangan khusus untuk menyimpan buku-buku lama yang sudah tua. Tapi tetap terlihat rapi dan bersih.

            "Luthfi, kamu cari dihalaman yang telah kutandai, aku tinggal dulu untuk mencuci," ujar Bu Ima menyerahkan buku tebal ditangannya.

            "Saya ikut Ibu ya.."ujar Rani dan Ifah kompak.

            "Tidak usah, nanti baju kalian kotor," balas Bu Ima.

            "Ngagak apa-apa Bu," balas Ifah dan Rani sembari mengikuti langkahnya pergi.

            Sehari kami berada di rumah Bu Ima, kami mendapatkan banyak pelajaran beharga yang tak pernah kami sangka-sangka. Bu Ima yang dipandang galak dan buruk, ternyata menyimpan beribu kebaikan dalam lubuk hatinya yang tidak pernah kami sadari.

            Hari pengumuman tiba, aku dan Bu Ima menaiki bis umum menuju kantor pemerintah yang terletak di Jakarta Pusat. Wajahnya begitu teduh, semangat juangnya pun tak pernah luntur untuk membuat muridnya sukses.

            Namun, beberapa saat kemudian, segerombolan anak muda menaiki bis dengan wajah sangarnya. "Woy, berhenti turun! Turun!" ujarn salah satu dari gerombolan anak-anak yang kurang ngajar terhadap supir bis.

            Penumpang tampak panik, Bu Ima dengan cepat langsung mengambil keputusan yang membuatku semakin terheran-heran. "Kalian anak muda, seharusnya belajar. Bukan untuk menyakiti masyarakat lain!" ujar Bu Ima ditengah kepanikan penumpang.

            Salah satu anak, mendatangi Bu Ima dengan penuh kegeraman, menatap sebentar, "Lu tahu apa sih nek?" ujarnya sambil memukul Bu Ima keras.

            Hanya dalam hitungan detik, Bu Ima roboh, bis dihentikan dan anak muda itu kabur. Aku menjerit, Bu Ima dikerumuni banyak orang. Darah mengalir derasdari pelipisnya. aku mencoba menhubungi Ifah dan Rani serta teman-teman yang lainnya. Bu Ima dibopong menuju rumah sakit terdekat.

            Ifah, Rani dan beberapa teman-teman yang lain dating tak lama kemudian. Ifah menyuruhku pergi dan ia berjanji akan mengurusi Bu Ima. Dengan diantar beberapa temanku aku berangkat menuju tempat yang kumaksud, tepat namaku disebut sebagai pemenang lomba essay tahun ini. Dengan rasa gemetar dan gugup, serta bercakan darah segar dikerudungku aku maju ke panggung kehormatan. Menerima hadiah dan piala, serta hadiah lainnya.

            "Saya mempersembahkan ini untuk guru saya, bagaimana pun seorang guru itu wajib digugu dan ditiru sepanjang masa. Teruntuk Bu Ima saya mengucapkan terima kasih banyak dan semoga Ibu mendapat hidayah di alam kubur sana," dengan berusaha menenangkan diri aku mencoba menceritakan kejadian yang kualami dalam pembuatan essay.

            Tepuk tangan terdengar riuh, usai kuberikan sedikit sambutan. Dengan penuh khawatir dan perasaan penyesal aku kembali mengunjungi Bu Ima. Terima kasih guruku, pahlawan yang patut untuk digugu dan ditiru.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun