Mohon tunggu...
Rahmah Athaillah
Rahmah Athaillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Literasi

Al Faqiir ilaa 'Afwi Rabbi Dari seseorang yang tengah belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dia, yang Digugu dan Ditiru

22 September 2021   14:32 Diperbarui: 22 September 2021   14:57 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Kami menggeleng, menyembunyikan rasa kejut kami. "Ndak usah bingung, ya rumah saya memang seperti ini kumuh, jelek. Kalau anak-anak kecil tadi, itu anak yang terlantar yang saya urus. Sementara, ibu-ibu yang kalian temui itu, mereka yang saya beri lapangan pekerjaan supaya tidak menganggur lagi,"

            Aku termenung, tapi, bagimana biaya untuk hidup?,tanyaku dalam hati. "Tapi, anak ibu sedang di rumah? Biaya mereka bagaimana?" tanyaku penasaran.

            Bu Ima menatapku sebentar, "Anak Ibu yang satu minggat, sedang yang satu lagi dikamar, nggak mungkin bisa melakukan aktivitas lagi, dia lumpuh sejak SMP. Saya kan sebenarnya sudah pensiun hanya saja, saya memohon untuk perpanjangan waktu," jawab nya tenang.

            Kami hanya diam membisu, mengikuti langkahnya menyusuri rumahnya yang membuat kami terheran-heran. Di rumahnya terdapat satu ruangan khusus untuk menyimpan buku-buku lama yang sudah tua. Tapi tetap terlihat rapi dan bersih.

            "Luthfi, kamu cari dihalaman yang telah kutandai, aku tinggal dulu untuk mencuci," ujar Bu Ima menyerahkan buku tebal ditangannya.

            "Saya ikut Ibu ya.."ujar Rani dan Ifah kompak.

            "Tidak usah, nanti baju kalian kotor," balas Bu Ima.

            "Ngagak apa-apa Bu," balas Ifah dan Rani sembari mengikuti langkahnya pergi.

            Sehari kami berada di rumah Bu Ima, kami mendapatkan banyak pelajaran beharga yang tak pernah kami sangka-sangka. Bu Ima yang dipandang galak dan buruk, ternyata menyimpan beribu kebaikan dalam lubuk hatinya yang tidak pernah kami sadari.

            Hari pengumuman tiba, aku dan Bu Ima menaiki bis umum menuju kantor pemerintah yang terletak di Jakarta Pusat. Wajahnya begitu teduh, semangat juangnya pun tak pernah luntur untuk membuat muridnya sukses.

            Namun, beberapa saat kemudian, segerombolan anak muda menaiki bis dengan wajah sangarnya. "Woy, berhenti turun! Turun!" ujarn salah satu dari gerombolan anak-anak yang kurang ngajar terhadap supir bis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun