Pertanyaannya:
- Apakah kurikulum technopreneur di kampus kita sudah mengajarkan global mindset?
- Atau kita hanya mencetak "pengusaha lokal" yang tak siap menghadapi gempuran Silicon Valley?
TWIST: Technopreneur Bukan Solusi---Tapi Alat untuk Bertahan
Ini yang jarang diungkap: Technopreneur bukanlah solusi ajaib untuk pengangguran. Ia hanyalah salah satu senjata di tengah perang yang jauh lebih besar: ketimpangan skill, mentalitas korporat yang kolot, dan sistem pendidikan yang terlambat beradaptasi.
Jika kampus benar-benar serius melahirkan technopreneur, maka:
- Ganti dosen teori dengan founder sungguhan yang pernah gagal bangun bisnis.
- Ukur kesuksesan bukan dari jumlah startup, tapi dari revenue dan ketahanan bisnis.
- Ajarkan kegagalan sebagai bagian wajib---bukan sekadar cerita motivasi.
"Jangan Cuma Jadi Tren, Jadilah Gerakan Nyata."
Technopreneur di kampus bisa jadi solusi---jika kita berani keluar dari zona nyaman. Jika tidak, ia hanya akan jadi ilusi indah yang membuat kita lupa:
"Masalah pengangguran tak akan selesai hanya dengan mengganti label 'pencari kerja' jadi 'pengusaha'."
Jadi, masih percaya technopreneur adalah jawaban? Atau kita perlu berhenti berbohong pada diri sendiri?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI