Untuk itu, saya memberikan sedikit pandangan pribadi:
1. Standar Kesejahteraan Satwa:Â Kembangkan pedoman pencahayaan, kebisingan, dan jarak interaksi yang jelas--belajar dari Night Safari yang merancang pengalaman khusus untuk hewan nokturnal.
2. Keterbukaan Informasi: Perbaiki saluran komunikasi (jadwal feeding, rute, kapasitas buggy) agar pengunjung dapat merencanakan kunjungan tanpa kebingungan--mengurangi keluhan dan kepadatan di titik tertentu.
3. Mode Operasional Bertahap: Pertimbangkan model event-driven di awal (seperti Taipei/London), lalu kembangkan menjadi night-as-destination jika kapasitas dan infrastruktur memadai.
4. Tarif, Akses, dan Keadilan Sosial: Jaga tarif yang terjangkau sebagai prinsip inklusif, tetapi kaji opsi paket wisata berbayar untuk pendanaan konservasi agar tidak membebani APBD. (Ragunan sudah mematok tiket sangat murah; opsi komersial tambahan bisa mendukung keseimbangan operasional).
Penutup
Di antara lampu-lampu redup dan langkah kaki pengunjung, Night at Ragunan Zoo menampilkan narasi baru: kota yang belajar menatap hewan di bawah bulan, bukan hanya di bawah matahari.
Bagi saya, pengalaman baru itu mengandung pesan moral sederhana--kita dapat memperluas waktu dan ruang publik tanpa kehilangan tanggung jawab terhadap mereka yang tak bisa menuntut haknya secara lantang.
Jika wisata malam Ragunan tumbuh dengan keseimbangan antara pengalaman manusia dan kesejahteraan satwa, maka kisahnya bukan sekadar atraksi baru, melainkan pembelajaran kolektif tentang bagaimana kota bisa menjadi rumah yang lebih hati-hati bagi semua makhluk.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI