Operasionalnya panjang (malam hingga tengah malam), berorientasi pada pengalaman tur yang terjadwal ketat, serta didukung fasilitas dan SDM yang memadai.
Perbandingan ini mendorong pertanyaan serius bagi Ragunan: apakah tujuan kita sekadar membuka pintu sampai malam, atau membangun pengalaman malam yang berstandar kesejahteraan hewan dan keselamatan publik?
Ada pula Chiang Mai Night Safari yang mengkombinasikan jam buka panjang dan program interaksi yang relatif terstruktur.
Sementara di kota-kota Barat banyak kebun binatang, seperti program Zoo Nights di London atau Summer Saturday Nights di Taipei yang menempatkan acara malam sebagai kegiatan musiman atau berbasis acara khusus--bukan operasi regular--dengan fokus pada penggalangan dana, program dewasa, atau kegiatan edukasi bertema.
Pola-pola ini menunjukkan dua model: (1) night-as-destination (seperti Singapore/Chiang Mai) dan (2) night-as-event (seperti London/Taipei).
Ragunan saat ini tampak berada di titik peralihan di antara keduanya: uji coba yang bisa berkembang ke model mana pun, tergantung visi dan investasi kebijakan.
Malam sebagai Ruang Publik dan Tanggung Jawab Kolektif
Secara pribadi, saya menilai Night at Ragunan Zoo menawarkan janji penting: membuat kota membuka waktu baru untuk berkoneksi dengan alam, memecah dominasi rutinitas siang-malam yang monoton, dan memberi alternatif rekreasi yang lebih inklusif (dengan tiket sangat terjangkau).
Namun janji itu juga melekat tanggung jawab--bukan hanya dari pengelola, melainkan dari pemerintah daerah, komunitas, dan pengunjung--untuk memastikan bahwa akses malam tidak menjadi praktik eksploitatif terhadap satwa, bukan pula sekadar karnaval temporer yang mengabaikan etika konservasi.
Landasan etika inilah yang, menurut saya, harus menjadi pusat narasi ketika program seperti ini dipertahankan dan dikembangkan.