Masuk melalui gerbang utama, nuansa malam Ragunan langsung terasa: lampu jalan yang sengaja tidak berlebihan, alunan pengumuman tentang feeding time, dan alur pengunjung yang kadang berdesak namun terkendali.
Saya memilih rute pejalan kaki--mencari momen-momen tenang untuk memperhatikan perilaku hewan malam seperti trenggiling dan musang bulan--dan beberapa kali berpapasan dengan rombongan keluarga yang sibuk mengabadikan momen.
Ada ketegangan antara suasana romantis kota dan kebisingan manusia; ragam emosi itu mengingatkan saya bahwa wisata malam adalah pertaruhan antara menawarkan pengalaman baru dan menjaga kesejahteraan satwa.
Catatan teknis: pengelolaan pencahayaan, titik feeding, dan jalur buggy perlu kehati-hatian agar tidak mengganggu siklus alami satwa.
Secara positif, wisata malam membuka kesempatan edukasi--anak-anak melihat satwa nokturnal aktif, pengunjung dewasa mendapat opsi rekreasi alternatif dan olah raga selain wilayah Gelora Bung Karno (GBK) yang sudah populer.
Namun di lapangan tampak pula masalah: penerangan yang belum merata membuat beberapa area terasa kurang aman atau informatif; serta kebutuhan untuk penataan parkir dan alur masuk agar pengalaman tidak berubah menjadi antre panjang.
Laporan awal yang muncul di media sosial dan portal berita juga menyinggung perlunya komunikasi publik yang lebih baik dari pengelola ketika menghadapi lonjakan pengunjung.
Belajar dari Night Safari dan Zoo Nights
Ketika menilai inisiatif Ragunan, membantu untuk membandingkannya dengan praktik serupa di luar negeri yang telah lebih dulu menggelar program malam.
Singapore Night Safari, misalnya, merupakan kebun binatang nokturnal pertama di dunia berdiri sejak 1994 adalah contoh fasilitas yang dirancang khusus untuk operasi malam.
Jalur yang terencana, pencahayaan yang dimodulasi untuk menjaga kenyamanan hewan, restoran yang menawarkan suasana pedesaan, dan paket wisata yang relatif mahal serta dikemas sebagai atraksi destinasi. Memiliki 900 hewan dari 100 spesies.