Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mencari Jalan Keluar Utang Besar Proyek Kereta Cepat Whoosh

13 Oktober 2025   20:15 Diperbarui: 13 Oktober 2025   20:27 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo saat meresmikan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Stasiun Halim, Jakarta Timur, (2/10/2023).(Kompas.com/ Dian Erika)

Analisis dari perspektif administrasi publik

Dengan pendekatan administrasi publik, kita akan coba mengurai akuntabilitas fiskal terkait persoalan kereta cepat Whoosh melalui dimensi-dimensi terkait.

1. Principal-Agent dan BUMN sebagai agen ganda. BUMN bertindak sebagai agen pemerintah namun memiliki kepentingan pasar dan korporat. Ketika agen mengambil keputusan investasi berisiko tinggi, masalah moral hazard dan misalignment tujuan antara principal (publik) dan agent (manajemen BUMN) muncul. Ketidaktepatan insentif (mis. tekanan real politik untuk "memenangkan" proyek strategis) menyebabkan under-pricing risiko.

2. New Public Management (NPM) dan pembiayaan swakelola. Proyek kereta cepat Whoosh PT KCIC merefleksikan logika NPM: penggunaan struktur korporasi, kemitraan publik-swasta, dan pembiayaan eksternal untuk menghindari beban APBN awal. Namun NPM mengandaikan pasar efisien dan informasi sempurna--keduanya tidak terpenuhi sehingga kegagalan pasar menimbulkan eksposur fiskal tersembunyi.

3. Public Choice dan capture oleh aktor tertentu. Keputusan proyek megaproyek rentan terhadap capture politik-ekonomi: lobby, kepentingan kontraktor, dan kepentingan geopolitik mitra asing. Public choice melihat keputusan ini sering kali tidak netral kebaikan publik, melainkan hasil bargaining antar aktor berkuasa.

4. Teori Good Governance dan akuntabilitas fiskal. Good governance menuntut transparansi kontrak, pemisahan resiko, pengawasan legislatif, dan mekanisme pengalihan beban yang jelas. Ketidaktepatan penerapan prinsip-prinsip ini menyebabkan munculnya beban tak terduga yang berpotensi menimpa APBN jika tidak dikelola.

Dari semua kerangka ini, masalah utama bukan hanya teknis pembiayaan, melainkan kegagalan institusi untuk meminternalisasi risiko dan mendesain insentif yang tepat sejak fase perencanaan. Pernyataan menkeu menolak APBN menutup satu pintu, tetapi tidak menghapus kebutuhan reformasi kelembagaan dan kontraktual.

Rekomendasi jalan keluar

Berdasarkan uraian penjelasan sebelumnya, dapat dipertimbangkan beberapa poin rekomendasi sebagai berikut:

1. Restrukturisasi kewajiban kredit dengan kreditor asing (negotiated restructuring): Pemerintah hendaknya memfasilitasi perundingan antara KCIC (pemegang utang) dan kreditor--mencari perpanjangan tenor, grace period, atau penjadwalan ulang bunga--tanpa langsung memindahkan kewajiban ke APBN. Pemerintah bisa bertindak sebagai mediator, bukan penjamin penuh.

2. Penegasan pemisahan fiskal: BUMN menanggung risiko, pemerintah menjamin ketentuan umum. Perlu klarifikasi hukum/kontrak yang menegaskan bahwa kewajiban komersial BUMN tetap tidak menjadi kewajiban publik kecuali ada trigger event yang sangat jelas dan diaudit. Regulasi ini perlu disertai sanksi korporat dan mekanisme recovery aset.

3. Audit forensik dan transparansi kontrak: DPR dan BPK harus memerintahkan audit independen atas kontrak, pembiayaan, dan keputusan manajerial selama proyek--hasil audit dipublikasikan penuh agar publik dapat menilai apakah ada malpraktik atau perencanaan buruk.

4. Skema beban risiko teralokasi--Dana Penyangga BUMN (BPI/Danantara): Jika BUMN holding (seperti Danantara) memiliki kapasitas, buatlah mekanisme resmi untuk menanggung sebagian risiko melalui modalisasi kembali (equity injection) yang disertai roadmap restrukturisasi dan penyehatan neraca; ini lebih adil daripada memakai APBN langsung. Namun setiap alokasi dana BUMN harus melewati uji kelayakan ekonomi dan persetujuan legislatif.

5. Revisi kerangka evaluasi proyek besar: mandatory cost-risk assessment dan contingency planning. Semua megaproyek berikutnya harus memiliki analisis skenario stres, jaminan sumber pembiayaan alternatif, dan klausul "no implicit guarantee" yang jelas--ditandatangani sebelum kontrak final.

6. Kebijakan tarif dan model bisnis operasional yang realistis: KCIC perlu menyesuaikan proyeksi pendapatan, mengevaluasi struktur tarif, dan mengoptimalkan operasi untuk meningkatkan utilisasi. Pemerintah daerah dan pusat dapat menyusun paket integrasi transportasi yang meningkatkan demand (mis. integrasi last-mile dengan angkutan umum lokal).

7. Pembelajaran kebijakan: membangun database pembiayaan proyek untuk evaluasi silang. Dokumentasi komprehensif akan membantu mencegah pengulangan kesalahan pada proyek infrastruktur selanjutnya.

Penutup

Menegaskan bahwa APBN tidak boleh dipakai sebagai kotak jebol menanggung utang komersial proyek adalah sikap fiskal yang bertanggung jawab--tetapi pernyataan itu hanyalah langkah awal. 

Tanpa kebijakan restrukturisasi yang transparan, mekanisme pemulihan BUMN yang jelas, dan reformasi kelembagaan untuk menginternalisasi risiko sejak awal, masalah "siapa membayar" hanya akan bergeser ke domain lain yang sama-berbahaya. 

Pemerintah harus memainkan peran arbiter yang cerdas: menolak bail-out otomatis, tetapi aktif memfasilitasi solusi yang meminimalkan dampak sosial dan menjaga kepercayaan pasar. 

Kegagalan untuk melakukan keduanya akan menjadikan megaproyek bukan sebagai simbol kemajuan, melainkan warisan beban anggaran dan legitimasi publik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun