Singkat cerita, peresmian Kereta Cepat Whoosh oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Joko Widodo pada tanggal 2 Oktober 2023 di Stasiun Halim, Jakarta
Catatan penting: nilai total pinjaman, struktur bunga, dan jadwal pelunasan menunjukkan eksposur fiskal yang nyata--bukan hanya bagi entitas pelaksana, tetapi juga bagi negara jika ada intervensi penyelamatan.
Laporan-laporan terbaru menyebut angka utang yang besar dan perbincangan restrukturisasi dengan kreditor Tiongkok.
Siapa saja pihak yang terlibat
Berdasarkan informasi resmi melaui laman KCIC tertulis bahwa KCIC beroperasi tanpa bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun jaminan Pemerintah Indonesia.
Pembangunan proyek Kereta Cepat Whoosh diperoleh dari dana pinjaman China Development Bank (75%).
Sedangkan 25% merupakan setoran modal pemegang saham, yaitu gabungan dari PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) (60%) dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd. (40%).
Komposisi pemegang saham PSBI yaitu PT Kereta Api Indonesia (Persero) 58,53%, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 33,36%, PT Perkebunan Nusantara I 1,03%, dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk 7,08%.
Adapun komposisi pemegang saham Beijing Yawan HSR Co. Ltd yaitu CREC 42,88%, Sinohydro 30%, CRRC 12%, CRSC 10,12%, dan CRIC 5%.
Persoalan utama yang menyertai proyek ini
Dalam penelusuran penulis menemukan beberapa persoalan besar yang menyertai pembangunan kereta cepat Whoosh, diantaranya adalah:
1. Overrun biaya dan kewajiban kredit luar negeri. Kenaikan biaya--akibat keterlambatan pengadaan tanah, pandemi, inflasi input--meningkatkan nilai pinjaman dan beban bunga. Ketika realisasi pendapatan tarif lebih rendah dari proyeksi, celah fiskal muncul.
2. Risiko moral hazard dan ekspektasi bail-out. Ketika proyek besar dijalankan oleh konsorsium BUMN yang "de facto" mendapat backing negara, ada kecenderungan pasar percaya bahwa pemerintah akan turun tangan jika kewajiban tidak terpenuhi--mengurangi disiplin pasar dan menimbulkan pertanyaan siapa yang sebenarnya menanggung risiko. Pernyataan menkeu yang menolak pembiayaan lewat APBN mencoba mematahkan ekspektasi tersebut, namun juga menimbulkan tekanan pada BUMN dan kreditor.
3. Tata kelola BUMN dan transparansi. Mekanisme pengambilan keputusan soal struktur pembiayaan, supervisi kontraktual, serta pemisahan risiko antara pemegang saham dan negara publik memerlukan pengawasan ketat--yang kata-kata di lapangan seringkali kurang memadai.
4. Dampak politik dan legitimasi publik. Jika pemerintah memilih menanggung sebagian utang dengan APBN, konflik nilai muncul: antara melindungi reputasi negara dan melanggengkan beban fiskal yang merugikan publik. Jika tidak bertanggung jawab, muncul pertanyaan siapa yang akan menanggung beban ekonomi jangka panjang.