Clifford Geertz menulis konsep agricultural involution untuk mendeskripsikan proses intensifikasi produksi sawah yang menghasilkan kompleksitas sosial tanpa disertai perubahan teknologi dan struktur yang substansial--istilah ini relevan saat kita melihat bagaimana intensifikasi spasial dan tenaga kerja di banyak daerah seringkali bukan jaminan naiknya kesejahteraan petani.
Geertz memberi kerangka untuk memahami bagaimana modal sosial dan kerja keluarga berulang diperas menjadi upaya mempertahankan subsistensi tanpa transformasi agraria yang pro-rakyat.
James C. Scott menambahkan dimensi moral dan politik: petani tidak semata-mata pelaku ekonomi pasif--mereka dilandasi suatu "subsistence ethic" atau moral economy yang membuat mereka berhati-hati terhadap perubahan yang berisiko menggoyahkan ketahanan pangan keluarga.
Dalam konteks Indonesia, kebijakan yang memaksakan komersialisasi cepat atau perubahan tata guna lahan tanpa jaminan kompensasi/akses alternatif kerap menghasilkan ketegangan sosial dan resistensi halus (foot-dragging, sabotase, praktik informal).
Kerangka Scott relevan untuk menjelaskan mengapa program formal sering gagal merebut hati dan praktek komunitas tani.
Harold Brookfield dan studi tentang degradasi lahan juga menegaskan bahwa masalah ekologis di desa bukan sekadar masalah teknis--melainkan problem sosial: akses, penguasaan, dan pilihan politik pembangunan mempengaruhi kerentanan lahan dan kapasitas produksi jangka panjang.
Degradasi bukan terjadi dalam kekosongan: ia terkait dengan kebijakan perkebunan, alih fungsi lahan, dan hilangnya pengelolaan lokal yang berkelanjutan.
Menyusutnya Jumlah Petani
Salah satu krisis paling nyata yang dihadapi pertanian Indonesia saat ini adalah penurunan jumlah petani secara drastis.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan tren penurunan tenaga kerja di sektor pertanian. Jumlah petani mengalami penurunan sekitar 7,42% dalam 10 tahun terakhir dari 31,7 juta menjadi 29,34 juta unit usaha pertanian.
Bahkan, data lain menyebutkan bahwa jumlah petani gurem saat ini hanya sebesar 17 juta orang dengan upah buruh tani kuurang lebih Rp1,5 juta/bulan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!