Meskipun pidato Prabowo memiliki daya tarik naratif dan moral yang kuat, sejumlah keraguan kritis harus dicermati.
1. Apakah retorika berbanding lurus dengan kekuasaan geopolitik?
Penawaran untuk mengerahkan pasukan penjaga perdamaian adalah langkah spektakuler. Meski pun hal tersebut bukan hal yang baru bagi Indonesia.
Kontingen Garuda atau KONGA sudah aktif sebagai pasukan perdamaian PBB sejak 1957. KONGA pernah bertugas ke Mesir, Kongo, Vietnam, hingga Timur Tengah.
Namun, kemampuan Indonesia untuk mempengaruhi keputusan Dewan Keamanan PBB sangat terbatas---terutama ketika negara besar (yang memiliki hak veto) memiliki kepentingan langsung.
Tanpa dukungan global kuat, tawaran tersebut bisa jadi dilewatkan atau dijadikan simbol kosong.
2. Kapasitas fiskal dan beban domestik
Untuk menerjemahkan janji-janji ke dalam kapasitas nyata (misalnya ekspor pangan secara berkelanjutan, transisi energi, konstruksi tanggul laut, pengembangan teknologi hijau), Indonesia harus mengalokasikan sumber daya besar.
Dalam konteks ekonomi negara berkembang, tekanan fiskal, korupsi, dan beban hutang bisa menjadi penghambat serius.
Jika program ambisius ini tidak diiringi reformasi struktural di dalam negeri, mereka bisa berakhir sebagai pidato yang indah tetapi terhenti di meja kabinet.
3. Risiko diplomasi moral berlebihan