Dalam konteks diplomasi Indonesia yang historis mendorong isu-isu global (seperti perdamaian Palestina, perubahan iklim, ketahanan pangan), pidato ini ingin menunjukkan bahwa kabinet Prabowo tidak akan pasif di panggung global.
Lebih jauh, ia mengusulkan bahwa dengan PBB yang kuat, kita dapat membangun "dunia di mana kaum lemah tidak menderita karena keterpaksaan, tetapi hidup dalam keadilan yang layak mereka dapatkan".
Kalimat ini seperti seruan agar solidaritas global tidak hanya menjadi slogan, melainkan fondasi norma internasional baru.
Dukungan terhadap Solusi Dua Negara (Two-State Solution)
Salah satu momen paling berapi-api dalam pidato adalah dukungan kuat Prabowo untuk Palestina.
Ia mengecam kekerasan yang terus berlangsung di Gaza, menyampaikan keprihatinan atas ribuan korban sipil, terutama perempuan dan anak-anak.
Prabowo menegaskan Indonesia tetap konsisten mendukung solusi dua negara sebagai jalan damai untuk mengakhiri konflik panjang Israel-Palestina.
"Kita harus memiliki Palestina yang merdeka ... tetapi kita juga harus ... menjamin keselamatan dan keamanan Israel" agar perdamaian sejati dapat terwujud. Begitulah prinsip dasar Solusi dua negara.
Pernyataan ini mencoba menyeimbangkan kepedulian solidaritas dengan pragmatisme---menunjukkan bahwa Indonesia tidak akan menolak keberadaan Israel, tetapi menuntut agar aspek kemanusiaan tidak diabaikan.
Namun, di balik keseimbangan retoris itu terletak tantangan praktik: sejauh mana Indonesia mampu memberi pengaruh nyata di meja negosiasi Timur Tengah yang sangat didominasi kekuatan besar?
Apakah cukup dengan retorika moral atau harus ada kapasitas diplomatik dan tekanan material yang nyata?