"Boots on the Ground" dan Kesiapan Militer
Salah satu bagian paling menantang dari pidato Prabowo adalah ketika ia menawarkan bahwa Indonesia siap mengerahkan pasukan penjaga perdamaian (peacekeeping) sebanyak 20.000 orang atau lebih ke Gaza atau wilayah konflik lain, jika Dewan Keamanan PBB memutuskan demikian.
Ini bukan sekadar simbol---ini tawaran konkret yang menuntut kesiapan politik, logistik, dan legitimasi internasional.
Tentu saja, proposal ini menghadirkan risiko: bagaimana jika misi itu gagal atau terjebak dalam konflik yang lebih besar? Bagaimana negara mengelola ekspektasi rakyat terhadap keterlibatan militer di luar negeri?
Ini adalah taruhan tinggi bahwa Indonesia tidak hanya ingin berbicara, tetapi juga "membayar harga tindakan".
Ketahanan Pangan dan Transformasi Ekonomi
Di bidang domestik namun dengan implikasi global, Prabowo juga menekankan keberhasilan Indonesia dalam sektor pangan: produksi beras tertinggi, swasembada, bahkan ekspor ke negara-negara membutuhkan---including Palestina.
Langkah ini bukan kebetulan menjadi bagian dari narasi geopolitik: Indonesia ingin memosisikan diri sebagai penyumbang global di masa krisis pangan dunia.
Ia juga menyatakan komitmen untuk pembangunan tembok laut (sea wall) sepanjang 480 km sebagai respons terhadap kenaikan permukaan laut, target net zero emission (2060 atau lebih cepat), dan reboisasi 12 juta hektar lahan.
Di satu sisi, ini menunjukkan bahwa Prabowo sadar bahwa isu perubahan iklim dan kerawanan ekologis adalah medan legitimasi yang terbuka bagi negara-negara berkembang.
Celah Legitimasi dan Tantangan Praktis