Namun, dari sudut pandang saya pribadi, bekerja di bisnis milik saudara sendiri menghadirkan sejumlah tantangan dan dilema yang tidak hanya menyangkut aspek profesionalisme semata.
Salah satu tantangan utama adalah konflik peran (role conflict). Saya tidak bisa bebas menegakkan disiplin dan etika perusahaan secara ideal. Kecuali, jika paman saya hanyalah salah satu pemilik saham atau investor dalam perusahaan. Akan lain ceritanya.
Teori peran dari Katz dan Kahn (1978) dalam The Social Psychology of Organizations menjelaskan bahwa individu yang menempati dua peran sosial yang saling tumpang tindih, seperti "paman/keponakan" sekaligus "manajer/staf", berpotensi mengalami konflik nilai, tujuan, dan ekspektasi.
Dalam lingkungan bisnis milik saudara, batas antara peran keluarga dan peran profesional menjadi kabur.
Misalnya, keputusan bisnis yang tegas bisa dianggap sebagai sikap tidak hormat dalam norma keluarga. Sebaliknya, pendekatan kekeluargaan yang terlalu lunak bisa melemahkan kinerja organisasi.
Jadi, ketika bekerja di bisnis saudara, seseorang tidak hanya memikul peran profesional tetapi juga peran keluarga.
Menurut saya, konflik peran ini dapat merusak kinerja, kesejahteraan psikologis, dan kepuasan kerja, karena individu harus menyeimbangkan tuntutan keluarga dan kebutuhan organisasi, yang terkadang saling bertentangan.
Pandangan saya sebenarnya juga sejalan dengan Talcott Parsons (1951) dalam teorinya tentang AGIL Schema menekankan pentingnya sistem sosial (seperti keluarga dan organisasi) memiliki fungsi berbeda:
- Adaptation (penyesuaian)
- Goal Attainment (pencapaian tujuan)
- Integration (integrasi)
- Latency (pelestarian nilai)
Keluarga memiliki fungsi utama dalam latency dan integration, sedangkan bisnis fokus pada adaptation dan goal attainment.
Ketika dua sistem ini bercampur, maka terjadilah ketidakseimbangan fungsi sistem. Ini bisa menyebabkan stagnasi dalam inovasi, nepotisme, dan resistensi terhadap manajemen modern.
Masalah Psikologis: Kognisi Sosial dan Beban Emosional