Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Di Balik Cerita Bisnis Pengolah Limbah Milik Paman

24 Juli 2025   14:28 Diperbarui: 24 Juli 2025   14:28 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bisnis keluarga. (Foto: Bisnis.com)

Saya akan menceritakan sedikit pengalaman saya menolak bekerja di gudang pengolahan limbah milik paman. Bagi sebagian Anda, mungkin cerita ini biasa saja. Tapi, ada beberapa pertimbangan yang menurut saya menjadi penting untuk menghindari bekerja bersama keluarga.

Namun, dengan sulitnya mencari lapangan pekerjaan, saya sangat memahami ketika Anda tidak banyak pilihan untuk bekerja dengan siapa. Toh, keputusan tetap ada di tangan Anda.

Bekerja di bisnis milik saudara merupakan fenomena umum di banyak negara, termasuk Indonesia. Sudah menjadi hal yang lumrah, apalagi dengan kondisi ekonomi yang sulit.

Meskipun relasi kekeluargaan dapat menciptakan rasa saling percaya yang tinggi, fenomena ini menyimpan tantangan manajerial, emosional, dan organisasional yang sering terabaikan.

Di tengah tumbuhnya kewirausahaan keluarga di Indonesia, banyak profesional dihadapkan pada pilihan untuk terlibat dalam bisnis milik saudara.

Namun, meskipun terdengar menguntungkan karena adanya trust awal, secara personal dan akademik, saya memiliki cukup alasan untuk kurang menyukai terlibat langsung sebagai pekerja di perusahaan milik keluarga atau saudara.

Sebelum saya melanjutkan alasan saya, Anda mungkin tertarik dengan data berikut.

Kompas.com (18/4/2022) menyebut hasil riset Daya Qarsa yang menemukan sebanyak 70 persen perusahaan keluarga di Indonesia tidak mampu bertahan hingga generasi kedua. Sebanyak 13 persen perusahaan keluarga tersebut yang bertahan sampai di generasi ketiga.

Hubungan Keluarga dan Konflik Peran

Keterlibatan profesional di lingkungan bisnis keluarga sering dianggap strategis, dengan alasan solidaritas, kepercayaan, dan kesinambungan usaha.

Namun, dari sudut pandang saya pribadi, bekerja di bisnis milik saudara sendiri menghadirkan sejumlah tantangan dan dilema yang tidak hanya menyangkut aspek profesionalisme semata.

Salah satu tantangan utama adalah konflik peran (role conflict). Saya tidak bisa bebas menegakkan disiplin dan etika perusahaan secara ideal. Kecuali, jika paman saya hanyalah salah satu pemilik saham atau investor dalam perusahaan. Akan lain ceritanya.

Teori peran dari Katz dan Kahn (1978) dalam The Social Psychology of Organizations menjelaskan bahwa individu yang menempati dua peran sosial yang saling tumpang tindih, seperti "paman/keponakan" sekaligus "manajer/staf", berpotensi mengalami konflik nilai, tujuan, dan ekspektasi.

Dalam lingkungan bisnis milik saudara, batas antara peran keluarga dan peran profesional menjadi kabur.

Misalnya, keputusan bisnis yang tegas bisa dianggap sebagai sikap tidak hormat dalam norma keluarga. Sebaliknya, pendekatan kekeluargaan yang terlalu lunak bisa melemahkan kinerja organisasi.

Jadi, ketika bekerja di bisnis saudara, seseorang tidak hanya memikul peran profesional tetapi juga peran keluarga.

Menurut saya, konflik peran ini dapat merusak kinerja, kesejahteraan psikologis, dan kepuasan kerja, karena individu harus menyeimbangkan tuntutan keluarga dan kebutuhan organisasi, yang terkadang saling bertentangan.

Pandangan saya sebenarnya juga sejalan dengan Talcott Parsons (1951) dalam teorinya tentang AGIL Schema menekankan pentingnya sistem sosial (seperti keluarga dan organisasi) memiliki fungsi berbeda:

  • Adaptation (penyesuaian)
  • Goal Attainment (pencapaian tujuan)
  • Integration (integrasi)
  • Latency (pelestarian nilai)

Keluarga memiliki fungsi utama dalam latency dan integration, sedangkan bisnis fokus pada adaptation dan goal attainment.

Ketika dua sistem ini bercampur, maka terjadilah ketidakseimbangan fungsi sistem. Ini bisa menyebabkan stagnasi dalam inovasi, nepotisme, dan resistensi terhadap manajemen modern.

Masalah Psikologis: Kognisi Sosial dan Beban Emosional

Menurut teori social cognition (Fiske & Taylor, 1984), dalam lingkungan keluarga terdapat pemrosesan sosial yang didominasi oleh afeksi dan afiliasi, bukan logika dan kinerja.

Maka, dalam bekerja di bisnis milik saudara, sering kali evaluasi kinerja dibayangi oleh bias keluarga: siapa yang lebih tua, siapa yang "pernah berjasa", bukan berdasarkan kontribusi objektif.

Hal ini menciptakan beban kognitif dan emosional yang tidak sehat. Seorang saudara bisa merasa bersalah saat harus menegur atau memecat keluarga, bahkan jika tindakan itu dibutuhkan secara manajerial.

Di bisnis keluarga, persepsi keberpihakan, nepotisme, atau perlakuan istimewa sering sulit dihindari baik oleh anggota keluarga maupun nonkeluarga.

Sekali lagi, hal ini menimbulkan tekanan psikologis dan berpotensi menurunkan motivasi, kepercayaan diri, dan rasa percaya antar karyawan.

Hambatan Inovasi dan Adaptasi Organisasi

Peter Drucker (1954) pernah menekankan bahwa organisasi yang baik adalah yang mampu adapt and innovate.

Namun dalam bisnis keluarga, terutama jika melibatkan saudara kandung, keputusan inovatif sering kali tertunda karena adanya rasa sungkan atau kompromi yang terlalu personal. Bahkan kritik membangun bisa disalahartikan sebagai konflik pribadi.

Dalam jangka panjang, organisasi semacam ini sulit melakukan perubahan budaya, transformasi digital, atau ekspansi pasar yang agresif.

Keterlibatan di bisnis saudara kadang membatasi ruang tersebut, baik karena adanya tekanan norma keluarga, harapan loyalitas, maupun tradisi bisnis keluarga yang resistensi terhadap perubahan.

Kesimpulan

Bekerja di bisnis milik saudara bukanlah praktik yang salah secara inheren, tetapi menyimpan risiko konflik peran, beban emosional, dan penurunan kualitas pengambilan keputusan.

Untuk profesional yang menjunjung tinggi etika organisasi, integritas struktural, dan sistem merit, pilihan untuk menjauh dari bisnis keluarga adalah bentuk self-awareness yang sehat.

Referensi:

  • Drucker, P. F. (1954). The Practice of Management. Harper & Row.
  • Fiske, S. T., & Taylor, S. E. (1984). Social Cognition. Addison-Wesley.
  • Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305--360.
  • Katz, D., & Kahn, R. L. (1978). The Social Psychology of Organizations (2nd ed.). Wiley.
  • Parsons, T. (1951). The Social System. Routledge.
  • Sharma, P. (2004). An Overview of the Field of Family Business Studies: Current Status and Directions for the Future. Family Business Review, 17(1), 1--36.
  • Miller, D., Le BretonMiller, I., Lester, R. H., & Cannella Jr., A. A. (2007). Are family firms really superior performers?. Journal of Corporate Finance, 13(5), 829-858.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun