Kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Brasil menandai babak baru bagi politik luar negeri Indonesia yang semakin berani mengambil posisi dalam dinamika perimbangan kekuatan global.
Bagi Indonesia, ini adalah KTT pertamanya sebagai anggota penuh BRICS. Sementara itu, BRICS juga mengumumkan bergabungnya 10 mitra baru: Belarus, Bolivia, Kazakhstan, Kuba, Nigeria, Malaysia, Thailand, Vietnam, Uganda, dan Uzbekistan.
Kini, ada 20 negara di dalam BRICS (10 anggota inti dan 10 negara mitra). Perlahan nan pasti BRICS mulai menjelma sebagai kekuatan geopolitik baru ketimbang sekadar blok ekonomi.
Dalam konstelasi multipolar yang kian menajam, BRICS menjadi aliansi strategis yang menantang dominasi lama Barat, khususnya Uni Eropa dan NATO.
Menggunakan berbagai sumber, artikel ini mencoba menakar perimbangan kekuatan ekonomi dan militer antara BRICS dan blok Barat serta implikasi strategis keanggotaan Indonesia dalam BRICS.
Perimbangan Kekuatan Ekonomi: BRICS vs Uni Eropa
BRICS mewakili lebih dari 3,6 miliar populasi dunia dengan pangsa perdagangan dunia sebesar 32% dan cadangan devisa lebih dari USD5,7 triliun (Uni Eropa hanya USD1,3 triliun).
Per Juli 2025, dengan bergabungnya 10 negara mitra baru, BRICS+ mencakup lebih dari 56% populasi dunia dan menyumbang lebih dari 44% PDB dunia berdasarkan purchasing power parity (PPP).
Pertumbuhan ekonomi kolektif BRICS mencapai 4% pada 2024, melampaui rata-rata global 3,3%.
Dengan masuknya negara-negara seperti Arab Saudi, Iran, Mesir, dan UEA, BRICS memperkuat posisi geopolitik dan geostrategisnya dalam pengelolaan energi dan perdagangan global.