Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Merayakan 70 Tahun Warisan Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik

2 Juli 2025   13:16 Diperbarui: 2 Juli 2025   20:36 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, bersama jajaran Komite FFI 2025 di Plataran Senayan, Selasa (1/7/2025). (Foto: KOMPAS.com/Ady Prawira Riandi)

Fadli Zon menekankan bahwa FFI harus menjadi "simbol ragam budaya bangsa dan inspirasi tanpa batas bagi sinema Indonesia".

Namun, perayaan keragaman tidak boleh berhenti pada tataran simbolik--harus diikuti kebijakan afirmatif, sistem penjurian yang adil, serta program-program yang membuka akses luas bagi sineas dari berbagai latar belakang.

Analisis Kritis: Inklusivisme, Bukan Sekadar Slogan

FFI 2025 perlu memastikan bahwa inklusivisme bukan hanya jargon. Dibutuhkan langkah nyata, antara lain:

  • Penyebaran informasi dan akses pendaftaran yang merata hingga ke daerah, agar sineas dari luar pusat industri film juga mendapat kesempatan yang sama.
  • Perayaan FFI di kampung-kampung sebagai bagian integral membangkitkan film rakyat. FFI adalah milik rakyat, bukan milik segelintir elit perfillman.
  • Diversifikasi dewan juri dan kategori penghargaan, agar penilaian tidak bias terhadap genre atau latar tertentu.
  • Program edukasi dan inkubasi untuk sineas muda, perempuan, serta kelompok minoritas, demi regenerasi pelaku film yang lebih inklusif.
  • Kolaborasi lintas sektor dengan komunitas, akademisi, dan pelaku budaya lokal untuk memperluas cakupan dan dampak festival.

Refleksi terhadap sejarah FFI menunjukkan bahwa festival ini lahir dari kebutuhan mendesak untuk melawan dominasi dan membuka ruang bagi semua.

Kini, ketika industri tumbuh dan tantangan berubah, semangat inklusivisme harus tetap menjadi nyawa FFI.

Hanya dengan demikian, FFI dapat terus relevan sebagai ruang apresiasi, evaluasi, dan perayaan keragaman sinema Indonesia.

Yang tidak kalah penting adalah film Indonesia harus menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Wallahu a'lam bishawab.

Referensi:

  1. Gerbner, G., Gross, L., Morgan, M., & Signorielli, N. (1986). Living with television: The dynamics of the cultivation process. Perspectives on media effects, 1986, 17-40.
  2. Shanahan, J., & Morgan, M. (1999). Television and its viewers: Cultivation theory and research. Cambridge university press.
  3. "Festival Film Indonesia," Wikipedia Bahasa Indonesia.
  4. "Djamaluddin Malik, Otak Dagang Perfilman Indonesia," Validnews.id.
  5. "Ario Bayu Pimpin Komite FFI 2025, Prilly Latuconsina Jadi Ketua Bidang Program," Medcom.id.
  6. "Serba-serbi FFI 2025, Resmi Diluncurkan dan Umumkan Duta Baru," Kompas.com.
  7. "Peluncuran Festival Film Indonesia 2025, Fadli Zon: FFI Simbol Ragam Budaya Bangsa," Okezone.com.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun