Hal tersebut senada dengan teori hegemoni budaya Antonio Gramsci, di mana dominasi budaya asing melalui film menyebabkan subordinasi budaya lokal.
FFI 1955 lahir sebagai respons konkret dari kondisi tersebut. Inisiasi Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik bertujuan untuk meningkatkan kualitas, apresiasi, dan kepercayaan masyarakat terhadap film Indonesia, sekaligus melawan dominasi asing dengan mempromosikan identitas dan narasi lokal
Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik, dua tokoh dengan visi berbeda--Usmar dengan idealismenya, Malik dengan naluri dagangnya--bersatu untuk menciptakan ruang apresiasi dan evaluasi film Indonesia melalui FFI.
FFI awal bukan sekadar ajang penghargaan, melainkan forum inklusif yang mempertemukan pembuat dan penonton film, serta menjadi alat melawan stereotip inferioritas film nasional.
FFI 1955 juga merupakan strategi budaya untuk menegaskan identitas nasional di tengah arus globalisasi film asing.
Festival ini membuka ruang bagi semua produser, sineas, dan genre film, menegaskan bahwa sinema Indonesia adalah milik bersama, bukan hanya segelintir elite atau genre tertentu.
FFI 2025: Tantangan Baru, Inklusivisme Harus Dijaga
Tujuh dekade kemudian, FFI menghadapi tantangan baru yang berbeda dan semakin kompleks, seiring dengan kemajuan teknologi.
Data tahun lalu menunjukkan 80 juta penonton menikmati film Indonesia, dan hingga pertengahan 2025, sudah hampir 43 juta penonton tercatat.
Industri film nasional tumbuh pesat, namun tantangan inklusivisme tetap relevan. Dominasi genre tertentu, sentralisasi produksi di Jakarta, serta akses terbatas bagi sineas daerah dan kelompok minoritas masih menjadi pekerjaan rumah.
Tema Puspawarna Sinema Indonesia tahun ini menegaskan pentingnya merayakan dan mengakomodasi keberagaman: dari genre, bahasa, latar budaya, hingga ragam pelaku industri.