Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Merayakan 70 Tahun Warisan Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik

2 Juli 2025   13:16 Diperbarui: 2 Juli 2025   20:36 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, bersama jajaran Komite FFI 2025 di Plataran Senayan, Selasa (1/7/2025). (Foto: KOMPAS.com/Ady Prawira Riandi)

Hal tersebut senada dengan teori hegemoni budaya Antonio Gramsci, di mana dominasi budaya asing melalui film menyebabkan subordinasi budaya lokal.

FFI 1955 lahir sebagai respons konkret dari kondisi tersebut. Inisiasi Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik bertujuan untuk meningkatkan kualitas, apresiasi, dan kepercayaan masyarakat terhadap film Indonesia, sekaligus melawan dominasi asing dengan mempromosikan identitas dan narasi lokal

Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik, dua tokoh dengan visi berbeda--Usmar dengan idealismenya, Malik dengan naluri dagangnya--bersatu untuk menciptakan ruang apresiasi dan evaluasi film Indonesia melalui FFI.

FFI awal bukan sekadar ajang penghargaan, melainkan forum inklusif yang mempertemukan pembuat dan penonton film, serta menjadi alat melawan stereotip inferioritas film nasional.

FFI 1955 juga merupakan strategi budaya untuk menegaskan identitas nasional di tengah arus globalisasi film asing.

Festival ini membuka ruang bagi semua produser, sineas, dan genre film, menegaskan bahwa sinema Indonesia adalah milik bersama, bukan hanya segelintir elite atau genre tertentu.

FFI 2025: Tantangan Baru, Inklusivisme Harus Dijaga

Tujuh dekade kemudian, FFI menghadapi tantangan baru yang berbeda dan semakin kompleks, seiring dengan kemajuan teknologi.

Data tahun lalu menunjukkan 80 juta penonton menikmati film Indonesia, dan hingga pertengahan 2025, sudah hampir 43 juta penonton tercatat.

Industri film nasional tumbuh pesat, namun tantangan inklusivisme tetap relevan. Dominasi genre tertentu, sentralisasi produksi di Jakarta, serta akses terbatas bagi sineas daerah dan kelompok minoritas masih menjadi pekerjaan rumah.

Tema Puspawarna Sinema Indonesia tahun ini menegaskan pentingnya merayakan dan mengakomodasi keberagaman: dari genre, bahasa, latar budaya, hingga ragam pelaku industri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun