Setiap pagi, jam 5 lewat 45 menit, aku sudah duduk di meja makan, menatap kopi sachet dan roti tawar yang kupanggang separuh gosong. Bukan karena lapar, tapi karena rutinitas.Â
Di sebelahku, anakku yang SMP lagi nge-scroll TikTok sambil sesekali ngeluh soal tugas sekolah. Di kamar, suara batuk Bapak masih terdengar, diiringi rengekan Ibu yang minta dibelikan salep untuk lututnya.Â
Aku? Aku diam. Kepalaku sibuk menghitung: cicilan rumah, tagihan listrik, uang sekolah, biaya check-up Bapak bulan depan, dan... ah ya, tabungan pensiun. Atau lebih tepatnya, harapan.
Aku ini bagian dari generasi sandwich. Kejepit antara dua tanggung jawab: merawat orang tua dan membesarkan anak. Gaji UMR, kerja remote hybrid, side hustle jualan daring, tapi tetap saja rasanya seperti mengejar kereta yang nggak pernah berhenti.Â
Kadang iri lihat teman seangkatan yang bisa healing ke Bali atau staycation tiap akhir pekan. Aku? Healing-nya kalau malam bisa tidur nyenyak tanpa mikir utang.
Tapi mimpi itu masih ada. Mimpi tentang pensiun. Tentang pagi hari yang tenang tanpa alarm. Tentang waktu yang cukup untuk menanam bunga di halaman rumah kecil yang asri. Tentang duduk berdampingan dengan pasangan, menyesap teh hangat, sambil menertawakan masa lalu yang penuh perjuangan.
Aku tahu itu belum dekat. Mungkin butuh 20 tahun lagi. Tapi bukan berarti mustahil. Aku mulai dari hal kecil. Belajar tentang investasi, nabung meski cuma 50 ribu sebulan, cari passive income pelan-pelan.Â
Lebih dari itu, aku juga mulai belajar menerima bahwa hidupku tidak harus sempurna untuk bahagia. Bahwa gagal itu bukan akhir, dan lelah itu manusiawi.
Aku juga ingin anakku tumbuh tanpa merasa terbebani. Aku ingin memutus rantai ini. Kalau bisa, biar aku generasi terakhir yang kejepit. Biar anakku nanti bisa hidup tanpa harus mengorbankan mimpinya demi menopang aku yang tua.
Aku tahu kita--para generasi sandwich--nggak sendirian. Di luar sana, banyak yang senasib. Yang pura-pura kuat di zoom meeting, padahal hatinya remuk mikirin biaya rumah sakit. Yang tetap senyum di Instagram, padahal dompetnya minus. Tapi kita tetap jalan. Karena di balik semua kelelahan ini, ada cinta. Ada makna. Ada harapan.