Dalam kerangka ini, keterlibatan Gie dan Prabowo dalam mendirikan LSM menjadi peristiwa penting yang menunjukkan bahwa masyarakat sipil bukan hanya monopoli kelompok progresif kiri.
LSM sesungguhnya juga tempat pertemuan lintas ideologi, bahkan dengan mereka yang kelak berada dalam struktur kekuasaan negara.
Narasi yang Terlupakan: Prabowo dan Aktivisme Awal
Soe Hok Gie dalam catatan hariannya menyebut Prabowo sebagai "anak muda yang kritis, rajin membaca, dan tertarik pada perubahan sosial."
Kedekatan Prabowo dan Gie bukan hal kebetulan. Prabowo, putra ekonom Sumitro Djojohadikusumo, sejak remaja sudah akrab dengan diskusi dan perdebatan aktivis di sekitar PSI (Partai Sosialis Indonesia)--meski Gie sendiri dikenal kritis terhadap PSI dan tokoh-tokohnya.
Pada 1968, Prabowo yang baru berusia 17 tahun, bersama Gie dan sejumlah aktivis muda, mendirikan LSM yang mereka sebut "LSM Pembangunan".
Prabowo sendiri mengaku tidak tahu apakah inisiatif ini merupakan yang pertama di Indonesia, namun pengakuan ini menegaskan bahwa embrio gerakan masyarakat sipil telah tumbuh bahkan sebelum Orde Baru menancapkan hegemoni politiknya.
Catatan Gie tentang Prabowo sangat manusiawi: ia menilai Prabowo cerdas namun naif, sedikit self-interest, dan kurang peka pada perasaan orang lain--sebuah potret remaja elite yang sedang mencari jati diri di tengah pusaran aktivisme dan politik.
Namun, di balik kritik itu, terdapat pengakuan akan kapasitas Prabowo untuk menangkap persoalan sosial secara cepat, walau masih mentah dalam pengalaman hidup.
Keterlibatan Prabowo dalam sebuah LSM pada masa itu bukan sekadar bentuk partisipasi sosial, tetapi juga manifestasi dari pencarian jati diri generasi muda pasca-1965.
Namun narasi ini tertutup oleh biografi resmi Prabowo yang lebih menekankan peran militeristiknya.