Narasi tentang Prabowo Subianto dan Soe Hok Gie kerap dipisahkan oleh sejarah politik dan perbedaan jalan hidup. Keduanya sering muncul dalam ruang yang terpisah, atau sengaja dipisahkan.
Soe Hok Gie dikenal sebagai ikon aktivisme idealis era 1960-an, sementara Prabowo sering diasosiasikan dengan militerisme dan kontestasi kekuasaan era pasca-Orde Baru.
Namun, dalam catatan harian Soe Hok Gie yang dibukukan sebagai Catatan Seorang Demonstran, terungkap fakta menarik: Prabowo dan Gie pernah bersama-sama mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di usia sangat muda.
Kisah ini bukan sekadar trivia sejarah, melainkan titik temu penting antara elite keluarga, aktivisme mahasiswa, dan embrio civil society Indonesia.
Artikel ini mengulas peristiwa tersebut dengan pendekatan teoritik kontemporer, menyoroti makna dan implikasinya dalam konteks perkembangan masyarakat sipil Indonesia.
LSM: Antara Gerakan Moral dan Transformasi Sosial
LSM di Indonesia lahir dari kebutuhan masyarakat untuk mengisi kekosongan peran negara dalam memperjuangkan kepentingan publik, terutama kelompok marginal.
Secara teoretis, LSM berakar pada konsep civil society yang dikembangkan oleh Cohen & Arato (1992), di mana masyarakat sipil menjadi arena otonom untuk mengartikulasikan kepentingan, nilai, dan identitas di luar kontrol negara maupun pasar.
LSM, menurut Gaffar (2006) dan Fakih (2008), berperan sebagai moral force, agen perubahan sosial, dan advokat kepentingan rakyat.
Di masa pasca-kemerdekaan, khususnya akhir 1960-an, lahirnya LSM merupakan respons terhadap stagnasi negara dan kebutuhan akan wadah ekspresi di luar struktur formal.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!