Perilaku terlalu baik atau over-akomodatif di tempat kerja--seperti senyum dipaksakan, kesediaan berlebihan memenuhi permintaan rekan, atau menghindari konflik--sering kali bukan cerminan ketulusan, melainkan respons adaptif terhadap lingkungan kerja yang tidak sehat.
Intinya, di dunia profesional hari ini, banyak dari kita diajarkan untuk "bersikap baik"--sopan, rendah hati, adaptif.
Namun dalam lingkungan kerja yang penuh tekanan, persaingan, atau bahkan toksisitas terselubung, kebaikan yang berlebihan justru sering menjadi bentuk self-sabotage yang tidak disadari.
Kita terjebak dalam performatif niceness: berpura-pura nyaman, terlalu sering mengalah, atau bahkan menyetujui sesuatu yang bertentangan dengan nilai pribadi.
Apa jadinya ketika "kebaikan" itu dipaksakan hingga berlebihan? Ketika kita terus-menerus tersenyum padahal stres, mengiyakan permintaan rekan meski itu mengganggu produktivitas, atau bahkan menunduk agar tidak dianggap bermasalah?
Fenomena ini bukan sekadar masalah personal, melainkan sebuah dinamika psikososial yang kompleks dan berakar pada berbagai teori perilaku organisasi.
Sudah saatnya kita berkata: berhentilah bersikap terlalu baik.
Mengapa Kebaikan Bisa Jadi Berbahaya?
Perilaku terlalu baik di tempat kerja mungkin terlihat ideal di permukaan, tetapi dalam banyak kasus, ia justru menjadi bumerang dan membahayakan--baik bagi kesehatan mental, karier, maupun dinamika tim.
1. Kelelahan Emosional dan Burnout