Generasi hari ini hidup di era digital, teknologi maju, dan akses informasi yang luas. Tapi tantangan baru juga muncul: body shaming, kesenjangan kerja, dan tekanan sosial di media.Â
Kartini mengajarkan pentingnya self-empowerment dan pendidikan sebagai fondasi utama dalam menghadapi tantangan itu.
Perempuan Gen Z bisa belajar dari Kartini tentang autentisitas, keberanian berpikir kritis, dan ngotot memperjuangkan hak tanpa kehilangan kelembutan hati.Â
Kita bisa ngegas tanpa kehilangan nilai. Seperti kata Kartini, "Habis gelap terbitlah terang," tapi terang itu harus diusahakan--bukan ditunggu.
Studi Pratiwi (2020) di Jurnal Sosiologi Gender menemukan bahwa generasi milenial mengidolakan Kartini bukan cuma sebagai simbol, tapi juga role model kepemimpinan perempuan.Â
Pesan Kartini untuk Gen Z: Emansipasi di Tengah Disrupsi Teknologi
Jika Kartini hidup hari ini, ia mungkin akan menjadi content creator atau aktivis digital. Di tengah banjir informasi dan tekanan media sosial, pesan Kartini untuk Gen Z bisa dirangkum dalam 3 prinsip:
"Literasi = Kekuatan": Kartini percaya pendidikan membebaskan. Gen Z harus kritis menyaring hoaks dan memanfaatkan teknologi untuk self-development (teori Digital Literacy oleh Eshet-Alkalai, 2004).
"Berani Bersuara, tapi Tetap Smart":Â Media sosial memberi ruang untuk aktivisme (#MeToo, #PerempuanBerkarya), tetapi perlu diimbangi etika (konsep Digital Citizenship Ribble, 2015).
"Kolaborasi, Bukan Kompetisi": Kartini mendorong solidaritas perempuan. Gen Z bisa memanfaatkan platform seperti LinkedIn atau Instagram untuk membangun jejaring profesional (teori Social Capital Putnam, 2000).