Sejatinya, Ramadan 2025 datang di tengah berbagai dinamika yang sedang melanda Indonesia, baik di aspek ekonomi dan politik.
Ramadan 2025, mungkin menjadi momen refleksi mendalam bagi seluruh umat Muslim Indonesia. Termasuk saya.
Di tengah dinamika ekonomi yang fluktuatif, ketegangan politik pascapemilu, dan reformasi hukum yang kontroversial, bulan suci ini menawarkan ruang untuk mengevaluasi nilai-nilai keadilan, kebersamaan, dan ketahanan spiritual.
Namun, dengan tantangan global dan domestik yang semakin kompleks, refleksi Ramadan kali ini harus melihat lebih jauh daripada hanya sekadar ibadah ritual.
Artikel ini menganalisis dua dimensi utama: ekonomi dan politik, serta kaitannya dengan esensi Ramadan.
Ekonomi: Ketahanan Nasional dan Solidaritas Umat
Perekonomian Indonesia menunjukkan ketahanan dengan pertumbuhan 5,05% di 2023 dan defisit fiskal yang menurun dari 6,1% menjadi 1,65%.
Namun, tekanan global seperti inflasi (diproyeksikan 4,4% pada 2025), apresiasi dolar AS, dan konflik geopolitik tetap menjadi ancaman.
Menurut penelitian dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Sosial (LPES) yang dipublikasikan pada 2023, meskipun Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi positif pasca-pandemi COVID-19, ketimpangan sosial dan ekonomi masih menjadi masalah yang menghambat kemajuan ekonomi yang inklusif.
Salah satu bentuk ketimpangan yang tampak jelas adalah distribusi kekayaan yang timpang, di mana sebagian besar kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir individu dan korporasi besar.