"Negara-negara dunia ketiga bukanlah negara miskin. Karena kalian tidak akan datang ke negara miskin untuk cari uang. Kekuatan kapitalis Eropa dan Amerika Utara telah menguras dan mengambil kayu-nya, timah-nya, tembaga-nya, memperbudak mereka dan tenaga kerja murah."
Begitulah bunyi kutipan pidato Michael John Parenti, seorang sejarawan dan kritikus politik asal Amerika, telah lama dikenal karena pandangannya yang tajam mengenai ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik yang mengakar di negara-negara berkembang.
Salah satu argumen yang sering ia kemukakan adalah bahwa kemiskinan yang dialami oleh banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang eksploitasi oleh negara-negara kapitalis Eropa dan Amerika.
Dalam pidatonya sejak 1980-an yang mengkritisi struktur ekonomi global, Parenti menyoroti bagaimana kekuatan besar ini mengendalikan ekonomi dunia dan menyebabkan ketimpangan yang mendalam, termasuk dalam hal distribusi kekayaan dan sumber daya.
Artikel ini akan mengulas lebih dalam pemikiran Parenti tentang kemiskinan negara-negara berkembang akibat eksploitasi oleh Eropa dan Amerika, dan bagaimana pemikiran ini dapat diterapkan dalam menganalisis kondisi sosial dan ekonomi Indonesia saat ini.
Parenti, Profesor yang Dilarang Mengajar
Lahir 30 September 1933, Michael Parenti dibesarkan oleh keluarga kelas pekerja Italia-Amerika di lingkungan East Harlem, Kota New York.
Meraih gelar BA dari City College of New York, gelar MA dari Universitas Brown, dan gelar Ph.D. dalam ilmu politik dari Universitas Yale.
Setelah menyelesaikan gelar doktornya, Parenti mengajar ilmu politik dan sosial di berbagai lembaga pendidikan tinggi, termasuk Universitas Illinois Urbana-Champaign.
Pada bulan Mei 1970, saat ia menjadi profesor madya di Universitas Illinois, ia berpartisipasi dalam unjuk rasa yang memprotes Perang Vietnam. Parenti mendekam dipenjara akibat aksinya tersebut.
Insiden ini secara efektif mengakhiri karier Parenti sebagai profesor.
Pada bulan Desember 1971, setelah departemen University of Vermont memberikan suara bulat untuk memperbarui kontrak mengajarnya.
Namun, sikap berbeda datang dari dewan pengawas UVM dan legislator negara bagian yang konservatif.
Mereka kompak memberikan suara untuk tidak memperbarui kontrak mengajar Parenti, dengan alasan "perilaku tidak professional."
Pertikaian mengenai keberadaannya yang berkelanjutan di fakultas UVM berlangsung hingga awal tahun 1972, tetapi akhirnya ia kehilangan jabatannya di sana.
Kemiskinan sebagai Hasil Eksploitasi
Dalam pandangannya, Parenti menegaskan bahwa kemiskinan di negara-negara berkembang bukanlah fenomena alamiah, melainkan hasil dari imperialisme ekonomi dan kolonialisme struktural yang dilakukan oleh negara-negara maju.
Parenti menyoroti beberapa mekanisme eksploitasi, seperti:
1. Eksploitasi Sumber Daya Alam:Â Negara-negara maju mengambil sumber daya alam dari negara berkembang dengan harga murah, sementara mengembalikannya dalam bentuk produk jadi dengan harga tinggi.
2. Utang Luar Negeri:Â Negara-negara berkembang terjebak dalam siklus utang yang tidak berkesudahan, yang digunakan sebagai alat kontrol oleh negara-negara maju.
3. Intervensi Politik dan Militer:Â Negara-negara maju sering kali melakukan intervensi politik dan militer untuk memastikan kepentingan ekonominya tetap terlindungi.
Imperialisme modern yang dilakukan oleh negara-negara besar tidak hanya berupa penjajahan militer, tetapi juga dalam bentuk kontrol ekonomi dan politik yang lebih halus.
Pada konteks ini, termasuk pengaruh dalam lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Melalui mekanisme utang dan kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh lembaga-lembaga ini, negara-negara berkembang terjebak dalam siklus utang yang tidak pernah selesai, yang hanya memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi.
Kondisi Indonesia dalam Kerangka Pemikiran Parenti
Jika kita menganalisis kondisi Indonesia melalui lensa pemikiran Michael Parenti, kita dapat melihat bagaimana Indonesia, seperti banyak negara berkembang lainnya, terjebak dalam pola yang sama.
Sejarah kolonialisme yang panjang di bawah Belanda meninggalkan jejak yang mendalam, dengan kontrol terhadap sumber daya alam dan kekayaan Indonesia yang dieksploitasi demi keuntungan negara kolonial.
Setelah kemerdekaan, meskipun Indonesia tidak lagi dijajah secara langsung, negara ini tetap terperangkap dalam dominasi ekonomi global yang sangat dipengaruhi oleh negara-negara besar, termasuk Eropa dan Amerika.
Salah satu contoh konkret adalah utang luar negeri Indonesia yang terus meningkat, yang sebagian besar berasal dari pinjaman yang diberikan oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Kebijakan ekonomi yang dipaksakan oleh lembaga-lembaga tersebut sering kali lebih mengutamakan kepentingan negara-negara pemberi pinjaman, yang tidak jarang merugikan rakyat Indonesia.
Seperti yang ditunjukkan dalam krisis moneter 1997-1998, kebijakan yang disarankan oleh IMF mengarah pada pemotongan anggaran sosial, privatisasi aset negara, dan pembukaan pasar untuk kepentingan asing, yang justru memperburuk kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia.
Indonesia, mungkin adalah contoh nyata dari apa yang dijelaskan oleh Parenti. Berikut adalah beberapa fakta yang menguatkan argumennya:
1. Eksploitasi Sumber Daya Alam:Â Indonesia adalah produsen timah, nikel, dan minyak sawit terbesar di dunia, namun sebagian besar keuntungannya dinikmati oleh perusahaan asing.
Misalnya, Freeport-McMoRan, perusahaan AS, telah mengeksploitasi tambang emas dan tembaga di Papua selama puluhan tahun dengan imbalan yang minim bagi masyarakat lokal.
Indonesia merupakan salah satu produsen emas terbesar di dunia. Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Papua memperkirakan potensi kandungan emas primer di Papua mencapai 3,2 miliar ton.
Indonesia penghasil timah terbesar di dunia. Cadangannya mencapai sekitar 1,5 juta ton, dengan produksi tahunan sekitar 60.000 ton pada tahun 2023. Sebagian besar timah berasal dari Pulau Bangka dan Belitung.
Indonesia juga memiliki cadangan nikel yang sangat besar, yang merupakan komponen penting dalam produksi baterai untuk kendaraan listrik.
Cadangan nikel diperkirakan mencapai 5,7 juta ton, dengan produksi tahunan sekitar 200.000 ton pada tahun 2023. Nikel Indonesia sebagian besar berasal dari Sulawesi.
Cadangan batu bara Indonesia diperkirakan mencapai 38,84 miliar ton, dengan produksi tahunan sekitar 775 juta ton pada tahun 2023. Sebagian besar cadangan batu bara terletak di Kalimantan dan Sumatera.
2. Utang Luar Negeri:Â Utang luar negeri Indonesia terus meningkat, dan sebagian besar digunakan untuk membayar utang sebelumnya. Hal ini menciptakan ketergantungan finansial yang sulit diputus.
Per Oktober 2024, total utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar US$423,5 miliar setara dengan Rp6.862,37 triliun (kurs Rp16.013). Angka ini mencakup utang pemerintah dan utang sektor swasta.
Utang luar negeri pemerintah berkontribusi cukup besar terhadap total utang,
3. Intervensi Asing:Â Intervensi asing dalam bentuk kebijakan ekonomi sering kali merugikan Indonesia. Misalnya, liberalisasi pasar yang dipaksakan oleh IMF pada masa krisis 1998 justru memperparah kondisi ekonomi Indonesia.
Kondisi yang demikian dapat dipahami melalui Teori Ketergantungan (Dependency Theory), yang dikembangkan oleh para ilmuwan seperti Andre Gunder Frank (1967) dan Fernando Henrique Cardoso (1979), sangat relevan dengan argumen Parenti.
Teori ini menjelaskan bahwa negara-negara berkembang (pinggiran) berada dalam posisi tergantung pada negara-negara maju (pusat) akibat hubungan ekonomi yang timpang.
Teori Imperialisme Baru, yang dikemukakan oleh David Harvey (2003), juga relevan untuk menganalisis kondisi Indonesia kontemporer.
Teori ini menjelaskan bahwa negara-negara maju menggunakan mekanisme ekonomi, politik, dan militer untuk mempertahankan kontrol mereka atas negara-negara berkembang.
Agak lebih klasik adalah teori pasca-kolonial oleh Edward Said (1978) dalam bukunya Orientalism juga dapat digunakan untuk memahami kondisi Indonesia.
Said menjelaskan bahwa negara-negara bekas jajahan sering kali terjebak dalam hubungan yang tidak setara dengan mantan penjajahnya, baik secara budaya, politik, maupun ekonomi.
Kesimpulan
Perspektif Michael John Parenti tentang kemiskinan negara-negara berkembang memberikan pemahaman kritis yang relevan untuk memahami kondisi Indonesia.
Melalui teori ketergantungan, imperialisme baru, dan pasca-kolonial, kita dapat melihat bagaimana eksploitasi sumber daya alam, utang luar negeri, dan intervensi asing telah menciptakan ketimpangan yang semakin dalam.
Untuk keluar dari jerat ini, Indonesia perlu membangun kemandirian ekonomi, memperkuat regulasi terhadap perusahaan asing, dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Situasinya mungkin lebih rumit dan berlapis. Dibutuhkan kepemimpinan dan komitmen nasional yang kuat. Semoga.*
Referensi:
Parenti, M. J. (1995). Against Empire. City Lights Books.
Frank, A. G. (1967). Capitalism and Underdevelopment in Latin America. Monthly Review Press.
Cardoso, F. H., & Faletto, E. (1979). Dependency and Development in Latin America. University of California Press.
Harvey, D. (2003). The New Imperialism. Oxford University Press.
Said, E. W. (1978). Orientalism. Pantheon Books.
Bank Indonesia. (2023). Laporan Utang Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
IMF. (1998). Indonesia: Memorandum of Economic and Financial Policies. International Monetary Fund.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI